Siang hari di 30 Desember 2012 saya mengirimkan pesan singkat ke nomor
milik Fatimah Zahrah, kawan saya. “Meh, begini. Aku kan mau ikutan 30hari
bercerita, biar aku bisa lebih disiplin dalam menulis. Nah, rencanaku,
postingan perdanaku tentang kamu. Kamu sebagai “salah satu orang asing paling
berkesan 2012” buatku. Rencanaku, aku ingin interview kamu. Tapi, aku ingin
tanya-tanya tentang kamu yang Ahmadiyah dan ceritamu yang pernah terjun
pendampingan paska konflik di Cikeusik. Sebab, kamu memang menarik dan
sebagainya. Tapi, aku pengen ada ide yang lebih besar yang bisa aku sampaikan
dalam tulisanku, lewat interview denganmu. Ide tentang kemanusiaan, katakanlah.
Kamu bersedia?” Fatimah membalas
sms saya dengan menyatakan bahwa ia bersedia.
Ya, Fatimah Zahrah, salah seorang dari orang asing paling berkesan yang pernah
saya temui di 2012 adalah seorang Ahmadiyah. Fakta bahwa ia adalah seorang
Ahmadiyah
Saya dan Fatimah bertemu November 2012 dalam kegiatan yang diadakan oleh
Tempo Institute. Kecelakaan takdir membuat kami berdua harus berbagi kamar
selama 2 minggu. Bagi saya yang introvert (hal yang sudah dibuktikan oleh tes
psikologi), adalah tidak mudah untuk berbagi tentang perasaan-perasaan mendalam
kepada seorang asing. Dengan Fatimah berbagi jadi lebih mudah. Seingat saya, di
malam kedua kami bersama, saya dan dia sudah terlibat percakapan panjang
tentang perasaan masing-masing kepada laki-laki yang kami sukai. Hari-hari
kami, khususnya di malam hari, selalu penuh cerita. Fatimah seperti karib yang
sudah bertahun-tahun saya kenal. Kami jadi sama tahu sebagian dari masalah
keluarga masing-masing, kami jadi sama tahu kegiatan masing-masing, kami jadi
sama tahu bahwa kami adalah orang yang menyukai rasa sakit. Saya jadi tahu
bahwa Fatimah memang punya kecenderungan untuk lebih mudah berbagi. Dan Fatimah
sepertinya tahu bahwa saya adalah kebalikannya. Kemampuan kami berbagi dan
memahami membuat saya lagi-lagi teringat dialog Celine dalam Before Sunrise yang berbunyi begini: “If there’s any kind of magic in this world.
It must be in the attempt of understanding someone sharing something.”
Anehnya, meski merasa akrab selama 2 minggu itu dan tetap berusaha meraih
kabar satu sama lain lewat berbagai medium setelah kegiatan itu, saya tidak
punya cukup keberanian untuk bertanya lebih jauh tentang fakta bahwa ia
Ahmadiyah. Ada sungkan dalam diri saya. Ketika saya terpikir untuk menulis
tentang ini, rasa sungkan itu coba saya lawan. Saya lalu mengirimkan sms di
atas kepadanya. Tujuan saya satu, saya ingin lebih mengenal sesuatu yang asing
itu, pengalaman Fatimah sebagai seorang Ahmadiyah. Kemudian menulisnya dan
membaginya, agar, meminjam kata Fatimah, “Kita jadi berpikir... kita gak ada bedanya deh. Sama-sama manusia. Terus kenapa dipermasalahin?” Sejak 31 Desember 2012 siang, Fatimah berkunjung
ke Yogya (ia berdomisi di Jakarta, ngomong-ngomong). Kami berjumpa dan berbagi
banyak tawa sejak itu. Namun, percakapan yang kami janjikan lewat sms baru
terjadi tadi siang.
Sita (S): Pertama, bisa tolong kamu jelasin
bedanya Ahmadiyah dan Islam?
Fatimah (F): Perbedaan Islam Ahmadiyah dan Islam ada pada keimanan kepada
Imam Mahdi yang dijanjikan. Kalau dalam Islam mempercayai pada akhir zaman
nanti akan turun Imam Mahdi. Nah, Ahmadiyah meyakini bahwa Imam Mahdi itu sudah
turun, yaitu Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad. Itu yang kami yakini sebagai semacam
guru. Kalau dalam Islam juga kan ada
tiap seratus tahun sekali itu dibangkitkan Mujaddid. Nah, Mirza Ghulam Ahmad
juga salah satu mujaddid, bahkan itu sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan. Fungsi
mujaddid itu kan membangkitkan kembali ajaran-ajaran Rasulullah. Jadi, dari
Mirza Ghulam Ahmad ini kami belajar, “Bagaimana sih Islamnya Rasulullah? Bagaimana sih Islam yang diajarkan Rasulullah waktu itu?” Jadi ia perantara. Semacam
bayangan gitu, Mirza Ghulam Ahmad itu bayangan. Itu sih perbedaannya.
S: Kalau dalam ritual pelaksanaan, itu gak
ada bedanya dengan Islam?
F: Gak ada. Hanya di soal
keimanan pada Mirza Ghulam Ahmad.
S: Kamu meyakini Ahmadiyah itu karena keluargamu turun temurun Ahmadiyah?
F: Bapakku lebih dulu Ahmadiyah baru kemudian kakekku. Kalau dari ibu,
kakek dulu baru ibu.
S: Kamu paham proses penyebaran Islam Ahmadiyah di Indonesia?
F: Ahmadiyah di Indonesia itu masuk sekitar tahun 1925-1928. Itu pertama
kali di Sumatera, aku lupa tepatnya di mana. Kemudian menyebar ke Jawa Barat
dan Jawa Barat sekarang sebagai satu titik Ahmadiyah paling banyak di
Indonesia. Sekaligus sebagai titik paling banyak Ahmadiyah diserang.
S: Ngomong-ngomong soal konflik,
kamu sendiri pernah mengalami kekerasan secara langsung sebagai seorang
Ahmadiyah?
F: Aku waktu itu kelas 5 SD tinggal di Jawa Timur, aku kebanyakan tinggal
di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Waktu itu aku di Madiun, aku bilang ke guru
agama saya, “Pak, saya Ahmadiyah.” Semenjak itu guru agama saya itu sangat
sentimen ke saya. Gak pernah ngomong sih. Tapi pandangannya ke saya
berubah. Nilai saya kan termasuk 3 besar. Tapi, nilai agama saya itu selalu di
bawah rata-rata. Tapi saya cuma setahun di Madiun. Yauda. Awalnya agak
tertekan. Terus sewaktu SMA, saya sekolah di Jawa Barat. Di Tasikmalaya. Itu
pernah ketika mau UAS, mau diserang FPI tapi bisa dihalau.
S: Di sekolah itu memang banyak Ahmadiyah?
F: Jadi, di Tasikmalaya, namanya Tenjo Waringin. Itu memang ada kampung
Ahmadi yang besar dan di situ ada SMA yang banyak anak Ahmadiyah dari mana-mana
belajar di situ. Saya dulu SMA di situ. Itu sih
yang pernah saya rasakan.
S: Kemarin Peristiwa Cikeusik kamu bantu proses advokasinya. Yang paling
miris dari pengalaman advokasi itu apa?
F: Melihat istri-istri korban. Saya gak
tega. Saya pernah wawancara istri korban yang meninggal. Itu kan ada tiga orang yang meninggal. Salah
satu istrinya pernah saya wawancara. Itu kan kejadiannya Februari 2011, sampai
sekarang traumanya masih. Udah dipindah ke tempat lain, udah diungsikan. Itu
masih ada trauma. Misalnya, sama suara motor yang kenceng-kenceng itu masih sangat takut. Yang dulunya gemuk
tiba-tiba turun 20kg dalam waktu 3 hari karena ada FPI gitu sengaja ngasih video
pembunuhan suaminya. Jadi, sebenarnya dia gak
tahu. Dia gak lihat video itu.
Tapi kemudian itu kayak sengaja ditinggal di warung dan dia lihat suaminya
dibantai. Yang paling miris buat saya adalah kita mandangnya, kalau orang luar gitu yah, gak ngerasa, yang diingat momentum-momentumnya. “Oh, tanggal 6
Februari 2011 ada penyerangan di Cikeusik.” Hanya itu. Tapi sebenarnya efek
dari itu sangat panjang.
S: Pendampingan terhadap korban-korban sampai sekarang masih terus
dilakukan?
F: Masih. Kalau saya pernah bantu pendampingan di Komnas Perempuan. Terus
di Perkumpulan 6211, yang emang konsen
di kebebasan beragama.
S: Tadi kamu bilang kamu tinggalnya pindah-pindah. Itu ada hubungannya
dengan kamu sebagai Ahmadiyah gak sih?
F: Iya. Karena bapakku itu mubaligh Ahmadiyah. Mubaligh itu kalau di
Katolik itu kayak Romo. Jadi memang ditugaskan untuk menyebarkan dan membina
Ahmadiyah yang sudah ada. Bapakku tugas. Pindah-pindah. 5 tahun sekali, 5 tahun
sekali. Mubaligh itu kayak pengabdi.
S: Terkait penyerangan, menurutmu kenapa bisa terjadi?
F: Kalau melihat sejarahnya, Ahmadiyah udah ada sejak tahu 1925. Udah lama.
Kemudian kenapa baru sekarang? Saya ngeliat
kekerasan itu kemudian meluas. Dari titik satu, menyebar, menyebar. Karena
di titik satu itu orang melihat, “Oke. Di situ aja dihukum cuma segitu.
Paling gak diapa-apain.” Melihat
seperti itu, di tempat lain jadi berani untuk melakukan penyerangan juga.
Menurut saya itu seperti sebuah kekerasan yang dikerangkakan. Apalagi semenjak
SKB 2008 tentang Pelarangan Ahmadiyah. Selalu, kalau mau nyerang atau sesudah nyerang mereka
bilang, “Ini kita ada SKB 2008 kok.”
Di Jawa Barat dan Sumatera bahkan ada peraturan daerah yang melarang Ahmadiyah.
Mereka mendapatkan legalisasi atas tindakannya. Negara sendiri mengkerangkakan
kekerasan itu. Karena kekerasan dikerangkakan, itu jadi sesuatu yang sistemik.
Ini bukan cuma friksi sosial. Negara turut membentuknya.
S: Tadi kamu bilang bahwa sejak kelas 5 SD kamu sudah berani bilang, “Saya
Ahmadiyah.” Alasanmu untuk berani menyatakan diri sebagai Ahmadiyah, khususnya
sekarang ketika banyak sentimen atas Ahmadiyah, ketika banyak kekerasan terjadi
terhadap Ahmadiyah?
F: Saya merasa, ketika saya mengaku kepada teman “Saya Ahmadiyah loh.” teman-teman kaget. Tapi, setelah
itu, kayaknya mereka, saya lihat, bisa memandang permasalahan Ahmadiyah lebih
manusiawi. Karena mereka secara personal berinteraksi dengan orangnya. Semenjak
itu, ke mana-mana saya declare, “Saya
Ahmadiyah.” Itu alasan kenapa saya declare.
Karena saya melihat bahwa dengan interaksi personal orang bisa memandang suatu
permasalahan, dalam konteks ini permasalahan keyakinan, lebih bijak. Kalau
misalkan kita gak kenal, kita bisa
dengan entengnya ngomong, “Dia sesat sih. Ya iyalah dapat kekerasan.” Jadi
permisif. Tapi kalau kita punya kenalan yang orang Ahmadiyah, kita jadi
berpikir, “Tunggu dulu, kayaknya kita gak
ada bedanya deh. Terus kenapa dipermasalahin?
No comments:
Post a Comment