Tuesday 1 January 2013

Yang Asing Itu



Siang hari di 30 Desember 2012 saya mengirimkan pesan singkat ke nomor milik Fatimah Zahrah, kawan saya. “Meh, begini. Aku kan mau ikutan 30hari bercerita, biar aku bisa lebih disiplin dalam menulis. Nah, rencanaku, postingan perdanaku tentang kamu. Kamu sebagai “salah satu orang asing paling berkesan 2012” buatku. Rencanaku, aku ingin interview kamu. Tapi, aku ingin tanya-tanya tentang kamu yang Ahmadiyah dan ceritamu yang pernah terjun pendampingan paska konflik di Cikeusik. Sebab, kamu memang menarik dan sebagainya. Tapi, aku pengen ada ide yang lebih besar yang bisa aku sampaikan dalam tulisanku, lewat interview denganmu. Ide tentang kemanusiaan, katakanlah. Kamu bersedia?” Fatimah membalas sms saya dengan menyatakan bahwa ia bersedia. 
Ya, Fatimah Zahrah, salah seorang dari orang asing paling berkesan yang pernah saya temui di 2012 adalah seorang Ahmadiyah. Fakta bahwa ia adalah seorang Ahmadiyah
memang menjadi salah satu alasan mengapa menurut saya gadis 22 tahun ini berkesan buat saya. Selain sebab ia pintar, ramah, lucu, dan penuh perhatian.

Saya dan Fatimah bertemu November 2012 dalam kegiatan yang diadakan oleh Tempo Institute. Kecelakaan takdir membuat kami berdua harus berbagi kamar selama 2 minggu. Bagi saya yang introvert (hal yang sudah dibuktikan oleh tes psikologi), adalah tidak mudah untuk berbagi tentang perasaan-perasaan mendalam kepada seorang asing. Dengan Fatimah berbagi jadi lebih mudah. Seingat saya, di malam kedua kami bersama, saya dan dia sudah terlibat percakapan panjang tentang perasaan masing-masing kepada laki-laki yang kami sukai. Hari-hari kami, khususnya di malam hari, selalu penuh cerita. Fatimah seperti karib yang sudah bertahun-tahun saya kenal. Kami jadi sama tahu sebagian dari masalah keluarga masing-masing, kami jadi sama tahu kegiatan masing-masing, kami jadi sama tahu bahwa kami adalah orang yang menyukai rasa sakit. Saya jadi tahu bahwa Fatimah memang punya kecenderungan untuk lebih mudah berbagi. Dan Fatimah sepertinya tahu bahwa saya adalah kebalikannya. Kemampuan kami berbagi dan memahami membuat saya lagi-lagi teringat dialog Celine dalam Before Sunrise yang berbunyi begini: “If there’s any kind of magic in this world. It must be in the attempt of understanding someone sharing something.” 

Anehnya, meski merasa akrab selama 2 minggu itu dan tetap berusaha meraih kabar satu sama lain lewat berbagai medium setelah kegiatan itu, saya tidak punya cukup keberanian untuk bertanya lebih jauh tentang fakta bahwa ia Ahmadiyah. Ada sungkan dalam diri saya. Ketika saya terpikir untuk menulis tentang ini, rasa sungkan itu coba saya lawan. Saya lalu mengirimkan sms di atas kepadanya. Tujuan saya satu, saya ingin lebih mengenal sesuatu yang asing itu, pengalaman Fatimah sebagai seorang Ahmadiyah. Kemudian menulisnya dan membaginya, agar, meminjam kata Fatimah, “Kita jadi berpikir... kita gak ada bedanya deh. Sama-sama manusia. Terus kenapa dipermasalahin?” Sejak 31 Desember 2012 siang, Fatimah berkunjung ke Yogya (ia berdomisi di Jakarta, ngomong-ngomong). Kami berjumpa dan berbagi banyak tawa sejak itu. Namun, percakapan yang kami janjikan lewat sms baru terjadi tadi siang. 

Sita (S): Pertama, bisa tolong kamu jelasin bedanya Ahmadiyah dan Islam?
Fatimah (F): Perbedaan Islam Ahmadiyah dan Islam ada pada keimanan kepada Imam Mahdi yang dijanjikan. Kalau dalam Islam mempercayai pada akhir zaman nanti akan turun Imam Mahdi. Nah, Ahmadiyah meyakini bahwa Imam Mahdi itu sudah turun, yaitu Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad. Itu yang kami yakini sebagai semacam guru. Kalau dalam Islam juga kan ada tiap seratus tahun sekali itu dibangkitkan Mujaddid. Nah, Mirza Ghulam Ahmad juga salah satu mujaddid, bahkan itu sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan. Fungsi mujaddid itu kan membangkitkan kembali ajaran-ajaran Rasulullah. Jadi, dari Mirza Ghulam Ahmad ini kami belajar, “Bagaimana sih Islamnya Rasulullah? Bagaimana sih Islam yang diajarkan Rasulullah waktu itu?” Jadi ia perantara. Semacam bayangan gitu, Mirza Ghulam Ahmad itu bayangan. Itu sih perbedaannya. 

S: Kalau dalam ritual pelaksanaan, itu gak ada bedanya dengan Islam?
F: Gak ada. Hanya di soal keimanan pada Mirza Ghulam Ahmad. 

S: Kamu meyakini Ahmadiyah itu karena keluargamu turun temurun Ahmadiyah?
F: Bapakku lebih dulu Ahmadiyah baru kemudian kakekku. Kalau dari ibu, kakek dulu baru ibu. 

S: Kamu paham proses penyebaran Islam Ahmadiyah di Indonesia?
F: Ahmadiyah di Indonesia itu masuk sekitar tahun 1925-1928. Itu pertama kali di Sumatera, aku lupa tepatnya di mana. Kemudian menyebar ke Jawa Barat dan Jawa Barat sekarang sebagai satu titik Ahmadiyah paling banyak di Indonesia. Sekaligus sebagai titik paling banyak Ahmadiyah diserang. 

S: Ngomong-ngomong soal konflik, kamu sendiri pernah mengalami kekerasan secara langsung sebagai seorang Ahmadiyah?
F: Aku waktu itu kelas 5 SD tinggal di Jawa Timur, aku kebanyakan tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Waktu itu aku di Madiun, aku bilang ke guru agama saya, “Pak, saya Ahmadiyah.” Semenjak itu guru agama saya itu sangat sentimen ke saya. Gak pernah ngomong sih. Tapi pandangannya ke saya berubah. Nilai saya kan termasuk  3 besar. Tapi, nilai agama saya itu selalu di bawah rata-rata. Tapi saya cuma setahun di Madiun. Yauda. Awalnya agak tertekan. Terus sewaktu SMA, saya sekolah di Jawa Barat. Di Tasikmalaya. Itu pernah ketika mau UAS, mau diserang FPI tapi bisa dihalau. 

S: Di sekolah itu memang banyak Ahmadiyah?
F: Jadi, di Tasikmalaya, namanya Tenjo Waringin. Itu memang ada kampung Ahmadi yang besar dan di situ ada SMA yang banyak anak Ahmadiyah dari mana-mana belajar di situ. Saya dulu SMA di situ. Itu sih yang pernah saya rasakan. 

S: Kemarin Peristiwa Cikeusik kamu bantu proses advokasinya. Yang paling miris dari pengalaman advokasi itu apa?
F: Melihat istri-istri korban. Saya gak tega. Saya pernah wawancara istri korban yang meninggal. Itu kan ada tiga orang yang meninggal. Salah satu istrinya pernah saya wawancara. Itu kan kejadiannya Februari 2011, sampai sekarang traumanya masih. Udah dipindah ke tempat lain, udah diungsikan. Itu masih ada trauma. Misalnya, sama suara motor yang kenceng-kenceng itu masih sangat takut. Yang dulunya gemuk tiba-tiba turun 20kg dalam waktu 3 hari karena ada FPI gitu sengaja ngasih video pembunuhan suaminya. Jadi, sebenarnya dia gak tahu. Dia gak lihat video itu. Tapi kemudian itu kayak sengaja ditinggal di warung dan dia lihat suaminya dibantai. Yang paling miris buat saya adalah kita mandangnya, kalau orang luar gitu yah, gak ngerasa, yang diingat momentum-momentumnya. “Oh, tanggal 6 Februari 2011 ada penyerangan di Cikeusik.” Hanya itu. Tapi sebenarnya efek dari itu sangat panjang. 

S: Pendampingan terhadap korban-korban sampai sekarang masih terus dilakukan?
F: Masih. Kalau saya pernah bantu pendampingan di Komnas Perempuan. Terus di Perkumpulan 6211, yang emang konsen di kebebasan beragama. 

S: Tadi kamu bilang kamu tinggalnya pindah-pindah. Itu ada hubungannya dengan kamu sebagai Ahmadiyah gak sih?
F: Iya. Karena bapakku itu mubaligh Ahmadiyah. Mubaligh itu kalau di Katolik itu kayak Romo. Jadi memang ditugaskan untuk menyebarkan dan membina Ahmadiyah yang sudah ada. Bapakku tugas. Pindah-pindah. 5 tahun sekali, 5 tahun sekali. Mubaligh itu kayak pengabdi.

S: Terkait penyerangan, menurutmu kenapa bisa terjadi?
F: Kalau melihat sejarahnya, Ahmadiyah udah ada sejak tahu 1925. Udah lama. Kemudian kenapa baru sekarang? Saya ngeliat kekerasan itu kemudian meluas. Dari titik satu, menyebar, menyebar. Karena di titik satu itu orang melihat, “Oke. Di situ aja dihukum cuma segitu. Paling gak diapa-apain.” Melihat seperti itu, di tempat lain jadi berani untuk melakukan penyerangan juga. Menurut saya itu seperti sebuah kekerasan yang dikerangkakan. Apalagi semenjak SKB 2008 tentang Pelarangan Ahmadiyah. Selalu, kalau mau nyerang atau sesudah nyerang mereka bilang, “Ini kita ada SKB 2008 kok.” Di Jawa Barat dan Sumatera bahkan ada peraturan daerah yang melarang Ahmadiyah. Mereka mendapatkan legalisasi atas tindakannya. Negara sendiri mengkerangkakan kekerasan itu. Karena kekerasan dikerangkakan, itu jadi sesuatu yang sistemik. Ini bukan cuma friksi sosial. Negara turut membentuknya.

S: Tadi kamu bilang bahwa sejak kelas 5 SD kamu sudah berani bilang, “Saya Ahmadiyah.” Alasanmu untuk berani menyatakan diri sebagai Ahmadiyah, khususnya sekarang ketika banyak sentimen atas Ahmadiyah, ketika banyak kekerasan terjadi terhadap Ahmadiyah?
F: Saya merasa, ketika saya mengaku kepada teman “Saya Ahmadiyah loh.” teman-teman kaget. Tapi, setelah itu, kayaknya mereka, saya lihat, bisa memandang permasalahan Ahmadiyah lebih manusiawi. Karena mereka secara personal berinteraksi dengan orangnya. Semenjak itu, ke mana-mana saya declare, “Saya Ahmadiyah.” Itu alasan kenapa saya declare. Karena saya melihat bahwa dengan interaksi personal orang bisa memandang suatu permasalahan, dalam konteks ini permasalahan keyakinan, lebih bijak. Kalau misalkan kita gak kenal, kita bisa dengan entengnya ngomong, “Dia sesat sih. Ya iyalah dapat kekerasan.” Jadi permisif. Tapi kalau kita punya kenalan yang orang Ahmadiyah, kita jadi berpikir, “Tunggu dulu, kayaknya kita gak ada bedanya deh. Terus kenapa dipermasalahin?

No comments:

Post a Comment