Wednesday 11 June 2014

Abai Itu Sakit, Jenderal!

Bermula dari makan siang di kantin kampus. Beberapa orang yang semeja dengan saya membicarakan Pemilu. Lalu, seingat saya, tiga dari mereka mengatakan mereka akan mendukung Prabowo. Satu lagi masih ragu akan memilih siapa. Saya mendengar sambil terus mengunyah makanan. Saya mengenal orang-orang itu, meski tidak pernah mengenal baik. Saya tidak ingin masuk dalam pembicaraan mereka. Saya terus mengunyah. Makin lama argumen-argumen mereka bikin saya sesak. Tapi, tetap, saya tidak ingin bergabung dalam perbincangan itu. Saya bukan orang yang cakap berbincang dengan orang-orang  yang tidak kenal dekat dengan saya. Pun ketika mendengar argumen mereka, saya tahu, diam dan menyimak adalah tindakan yang jauh lebih baik. Tapi, saya sesak. Itulah mengapa saya lalu memilih mengadu ke grup whatsapp yang berisi teman-teman dekat saya. Saya sekedar ingin mengadu. Sekali lagi, saya sesak.

Maka, saya kirim pesan: Demi apa aku semeja sama pendukung Prabowo di kantin... Lalu salah seorang kawan baik saya merespon: Emang kenapa to Sit nek dukung Prabowo? (Emang kenapa Sit kalau dukung Prabowo?). Saya makin sesak. Seingat saya, 2013 dulu saya pernah terlibat pembicaraan dengannya tentang kemungkinan Prabowo jadi presiden. Saat itu, Yogya sedang panas karena kasus penembakan narapidana di dalam penjara Cebongan oleh Kopassus. Seingat saya, dia memang ragu dengan ketakutan saya tentang pelanggaran HAM akan makin marak terjadi jika Prabowo jadi presiden.

Saya paham, keraguan itu penting. Di saat-saat tertentu, ragu bisa jadi lebih baik daripada yakin. Meski menyebut beberapa kejadian seperti penculikan aktivis 98 sebagai alasan saya tidak mau jika Prabowo jadi presiden, waktu itu saya bisa menerima keraguannya. 

Kemarin siang lain. “Emang kenapa to Sit kalau dukung Prabowo?” (dan mungkin “Emang kenapa to Sit kalau Prabowo jadi presiden?”) Tangan saya sampai gemetar ketika mengetik pesan untuk meresponnya: Kalau alasan paling nyata buat aku untuk tidak mendukung dia karena aku punya Timeh yang adalah Ahmadiyah. Dan Prabowo sudah bilang mau tertibin Ahmadiyah. Masih dengan tangan bergetar saya lanjut mengetik: Kedua, karena aku punya Ulfa yang adalah wartawan dan pernah dibentak Prabowo karena dia kewanen (nekad: red) tanya soal pengadilan HAM waktu wawancara Prabowo. Dibentak ditanyain, “kamu dari mana? Siapa yang nyuruh kamu nanya itu?”

Monday 21 April 2014

Tentang Perpisahan Berhari-Hari yang Lalu


Dua orang berjumpa di sebuah kedai untuk berbincang tentang hubungan mereka. Obrolan yang mereka rasa perlu sebab keduanya sama-sama sudah merasakan kejanggalan berbulan-bulan lamanya. Kejanggalan yang dipicu oleh ritme yang tak sama, dongkol yang menjadi-jadi, perasaan yang mudah tersinggung, ketimpangan dalam memberi perhatian, sulitnya menghargai proses masing-masing, dan sebagainya dan sebagainya. Pun mereka tahu bahwa masing-masing menghadapi fase baru sebagai individu (kuliah yang sama-sama baru selesai, lingkungan baru, juga bingung dan cemas yang terus datang di antara mimpi-mimpi pribadi). 

Yang perempuan pernah dengar soal “Konon, yang bisa bertahan di masa sulit seperti itu, akan bisa bersama…” Tapi mereka berdua sama paham: mereka tak bisa bertahan; mereka tak bisa bersama. Dua-duanya bahkan tak bisa mereka-reka alasan untuk tetap bertahan. Maka, sebelum keduanya jadi makin menyebalkan, sebelum masing-masing jadi makin bikin sakit: mereka sepakat berpisah. Yang perempuan merasa seperti ada beban berat yang hilang dari dalam dirinya. Rasa-rasanya, laki-laki di seberang mejanya juga merasakan hal yang sama (toh laki-laki itulah yang beberapa hari sebelum perjumpaan mengirimkan pesan “aku tidak bahagia sama kamu…”­).

Lalu ada petuah-petuah sok tahu yang keluar dari mulut si perempuan: kamu jangan mudah tersinggung kalau dikritik, kamu pasti akan tahu maumu apa… Yang laki-laki mengingatkan bahwa sebagai teman mereka tentu masih bisa kerja bersama di masa depan. Tak ada air mata. Bahkan tak ada kesedihan yang bisa dirasa dari tiap kata yang diucapkan dalam percakapan itu. Sebab, mereka tampaknya tahu, perpisahan kali ini tidak perlu disikapi dengan cara seperti itu. 

Monday 13 January 2014

Tentang Kehilangan, Getar yang Tak Hendak Dinamai, dan Suatu Mimpi


 I'am learning how to compromise the wild dream ideals and the necessary realities without such screaming pain. 
Sylvia Plath

Akan sangat klise jika saya memulai tulisan ini dengan bilang bahwa saya tidak tahu bagaimana harus memulainya. Sangat klise sebab ungkapan seperti itu sudah terlanjur sering kita dengar. Pun sudah terlalu sering kita rasakan. Seperti perasaan yang begitu jelas hadir tapi tak juga bisa kau pahami (apalagi jelaskan). Jadi bagaimana harus memulai tulisan ini?

Begini saja. Mari mulai dengan bilang bahwa di tengah 2013 kemarin ada sesuatu yang hilang dari hidup saya. Saya bisa menyebutnya kebiasaan. Seperti kebiasaan mendengarkan mixtape pengantar tidur, seperti kebiasaan begadang di malam hari, seperti kebiasaan mengecek sosial media, seperti begitu banyak hal biasa yang saya lakukan sehari-hari. Sempat ada kata-kata yang rajin hadir di kepala saya di awal-awal kehilangan ini. Kata-kata itu, seingat saya, berbunyi begini: “Kepada serigala yang sedang jadi kuda....” Saya tahu, kata-kata itu pasti terdengar aneh untuk menggambarkan perasaan kehilangan.

Saya lupa detil suasana saat ia menyampaikan pernyataan yang jadi alasan kenapa kata-kata itu hadir di kepala saya. Tapi ingatan saya, seperti yang sudah-sudah, ternyata tidak mudah melupakan kata-kata. Dan kali itu, kata-kata inilah yang terekam dengan baik di kepala saya, “Ngerti ora. Jare, di usia 25 tahun manusia jadi seperti kuda.” (Tahu gak. Konon, di usia 25 tahun, manusia jadi seperti kuda).

Saturday 28 December 2013

Yang Tidak Terdengar dari Karya Agus Suwage



Saya mulai tulisan ini dengan pengakuan bahwa karya Agus Suwage adalah salah dua dari beberapa karya di Biennale Jogja XII yang meninggalkan jejak di pikiran saya. Itulah kenapa saya pilih menulis tentang karya Agus Suwage. Dua karya Agus Suwage yang dibahas dalam tulisan ini berjudul Tembok Toleransi (2012) dan Social Mirrors #3 (2013). Tembok Toleransi dipamerkan di lantai 1 Jogja National Museum (JNM), sedang Social Mirrors #3 dipamerkan di SaRang Building.  

 ***
 
Tembok Toleransi berupa tembok yang terbuat dari seng. Tembok itu disorot dengan cahaya LED. Di tembok tertempel 9 telinga yang terbuat dari kuningan berlapis emas. Dari telinga-telinga itu terdengar lafal azan. Secara visual, Tembok Toleransi tampak sederhana. Apalagi saat pertama kali melihatnya perhatian saya terlebih dahulu dicuri oleh karya Handiwirman Saputra yang megah dan berada tepat di sebelah Tembok Toleransi. Sebab saya punya ketertarikan pada hal-hal yang tidak terlalu mencolok, saya justru tertarik mendekatkan diri ke tembok itu. Saya dekatkan telinga saya ke beberapa telinga Tembok Toleransi yang bisa dijangkau oleh tubuh saya. Perasaan senang kepada Tembok Toleransi hadir dalam diri saya. Perasaan senang yang hadir kala itu sama seperti perasaan yang hadir kala menyukai seseorang di interaksi pertama dengannya. Tak terjelaskan. 

Tuesday 25 June 2013

Identitas, Nyala Api dalam Kebhinekaan*

*Naskah ini adalah salah satu dari 30 esai terbaik Kompetisi Esai Mahasiswa (KEM) 2012
oleh Tempo Institute. Yang tertarik ikut KEM 2013, sila cek di sini.


Menyoal kebhinekaan, sejak Sekolah Dasar saya sudah lekat dengan persoalan-persoalan tentangnya. Bukan hanya lewat pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) dimana guru mengajarkan ide-ide tentang keberagaman lewat pertanyaan sederhana, “Jadi, bhineka tunggal ika itu artinya berbeda-beda tetapi tetap apa, anak-anak?’ yang akan dijawab serentak oleh saya dan teman-teman yang duduk manis, “Tetapi tetap satu, bu.” Tapi juga lewat orang-orang terdekat saya. Satu yang paling membekas adalah peringatan: “Jangan minum dari termos air milik temanmu yang Kristen. Nanti Allah marah.” Saya tidak paham kenapa Allah bisa marah hanya karena saya minum dari termos milik teman yang Kristen. Namun, saya patuh-patuh saja. Saat itu saya selalu memilih menahan haus jika pilihan lainnya adalah harus minum dari termos teman yang Kristen karena uang jajan dan bekal air di termos saya telah habis. Seiring bertambahnya usia, saya jadi paham bahwa pernyataan tersebut muncul sebab perkara haramnya (menurut Islam) makanan yang dikonsumsi kawan-kawan yang Kristen. Ditambah lagi, di tahun 1999, saat saya masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar, kerusuhan besar antara Islam dan Kristen pecah di Poso (meski kemudian ada pembacaan bahwa konflik tersebut tidaklah semata-semata konflik antar-agama). Kebetulan, saya lahir dan menetap di Palu (yang berjarak  221 km dari Poso). Kebetulan lagi, keluarga besar ibu saya menetap di Poso serta jadi korban langsung dari konflik itu. Peringatan yang membekas itu datang dari adik-adik ibu saya. Sangat mungkin ada hubungan antara situasi konflik di Poso saat itu dan peringatan yang diberikan ke saya.

Saya makin lekat dengan soal-soal tentangnya setelah memutuskan meninggalkan Palu untuk melanjutkan SMA. Pulau Jawa menjadi tujuan dengan pertimbangan klasik bahwa pulau Jawa adalah tempat yang baik untuk belajar dibandingkan dengan Palu yang ada di wilayah Indonesia Timur. Semarang jadi titik nol perantauan saya. Di sana, ada begitu banyak hal yang berbeda dengan apa yang ada di Palu. Saya belajar Bahasa Jawa serta belajar kebiasaan-kebiasaan baru. Singkatnya, saya menyerap dan beradaptasi dengan sangat cepat terhadap banyak hal baru itu. Meski, tentu saja, awalnya saya sempat mengalami keterkejutan budaya.

Setamat SMA, saya pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan. Yogyakarta menambah pengalaman saya tentang keberagaman. Di Yogyakarta saya bertemu dan bertukar pikiran dengan begitu banyak manusia. Suku mereka beragam, agama mereka tak satu, dan masih banyak pembeda-pembeda lainnya. Tahun ini masuk tahun keempat saya di Yogyakarta. Meski mengamini bahwa manusia yang berbeda-beda bisa hidup bersama di kota ini, buat saya masih ada api dalam sekam terkait perbedaan itu.

Tuesday 5 February 2013

Tanya dan Butir-Butir Debu



Ini hari minggu. Kata mama, Minggu adalah hari bersih-bersih rumah. Kata papa, rumah yang bersih dan nyaman harus selalu diusahakan. Dan begitulah, hari ini Tanya membantu papa dan mama bersih-bersih. Membersihkan debu-debu di perabotan rumah jadi tugas Tanya.
“Permisi ya, debu. Aku bersihin kalian pakai kemoceng ya.”
“Iya. Silakan, Tanya,” ujar butir-butir debu.
“Bu, debu, kalian itu kecil-kecil dan lucu, ya.”
“Kalau kecil sih iya, Tanya. Tapi kalau lucu, masa iya? Lucu apanya?”
“Kalian lucu, soalnya kalian bilang ‘Iya, silakan, Tanya.’ waktu aku baru aja mau bersihin kalian. Tapi, liat aja deh, besok-besok kalian pasti sudah menempel di macam-macam perabotan. Di meja, di kursi, di bingkai-bingkai foto, di mana-mana.”
“Hehehe....” Butir-butir debu tertawa kecil.
“Bisa gak sih kalian gak datang-datang lagi?”
“Gak bisa, Tanya. Kami ditakdirkan berangkat lewat angin dan kembali ke angin. Angin membuat kami menempel di perabot-perabot. Kalau kamu bersih-bersih, kami kembali ke angin. Tapi angin bawa kami lagi di rumahmu atau rumah-rumah lainnya,”
“Ih, kok angin gitu?”
“Angin punya tujuan kok, Tanya,”
“Apa tujuannya coba? Bikin manusia bersin-bersin?”
“Ih, bukan. Biar tidak bersin-bersin, manusia harus rajin bersih-bersih. Bersih-bersih itu salah satu cara nunjukin perhatian ke orang-orang di rumah.”
“Hum, jadi angin kirim kalian biar aku bisa nunjukin perhatian ke papa dan mama. Gitu?”
Butir-butir debu belum sempat menjawab. Papa datang.
“Tanya, kok malah ngomong sendiri?”
“Hehehe. Tanya lagi ngehapalin naskah drama di sekolah, Pa.”
“Oh, yasuda. Ayo, bersihin debu-debunya. Habis itu mandi terus kita makan siang bersama.”
“Iya, pa.”
Tanya lalu menyapukan kemocengnya di pigura berisi fotonya bersama papa dan mama. Sebelumnya, ia beri kedipan mata ke butir-butir debu itu sebagai ucapan perpisahan, sampai mereka bertemu lagi. 

Monday 4 February 2013

Mixtape: Happily Ever After




Berminggu-minggu lalu, seorang kawan mengirimkan sebuah pesan singkat ke ponsel saya. “Sit, lagu-lagu yang wajib ada di pernikahanmu besok apa?” begitu tanyanya. Pertanyaannya terasa sangat sulit waktu itu. Meski saya tetap memberinya beberapa judul lagu. Hari ini, saya memikirkan kembali pertanyaan kawan saya itu. Hari ini, saya dapatkan lagi beberapa lagu yang wajib ada di pernikahan saya nanti. Oya, dengan senang hati saya kutipkan beberapa baris lirik lagu-lagu itu untukmu.