Dua orang berjumpa di sebuah kedai untuk berbincang tentang hubungan mereka. Obrolan
yang mereka rasa perlu sebab keduanya sama-sama sudah merasakan kejanggalan
berbulan-bulan lamanya. Kejanggalan yang dipicu oleh ritme yang tak sama,
dongkol yang menjadi-jadi, perasaan yang mudah tersinggung, ketimpangan dalam
memberi perhatian, sulitnya menghargai proses masing-masing, dan sebagainya dan
sebagainya. Pun mereka tahu bahwa masing-masing menghadapi fase baru sebagai
individu (kuliah yang sama-sama baru selesai, lingkungan baru, juga bingung dan
cemas yang terus datang di antara mimpi-mimpi pribadi).
Yang perempuan pernah
dengar soal “Konon, yang bisa bertahan di
masa sulit seperti itu, akan bisa bersama…” Tapi mereka berdua sama paham: mereka
tak bisa bertahan; mereka tak bisa bersama. Dua-duanya bahkan tak bisa mereka-reka alasan untuk tetap
bertahan. Maka, sebelum keduanya jadi makin menyebalkan, sebelum masing-masing
jadi makin bikin sakit: mereka sepakat berpisah. Yang perempuan merasa seperti
ada beban berat yang hilang dari dalam dirinya. Rasa-rasanya, laki-laki di
seberang mejanya juga merasakan hal yang sama (toh laki-laki
itulah yang beberapa hari sebelum perjumpaan mengirimkan pesan “aku tidak bahagia sama kamu…”).
Lalu ada
petuah-petuah sok tahu yang keluar dari mulut si perempuan: kamu jangan mudah tersinggung kalau dikritik,
kamu pasti akan tahu maumu apa… Yang laki-laki mengingatkan bahwa sebagai teman mereka tentu masih bisa kerja
bersama di masa depan. Tak ada air mata. Bahkan tak ada kesedihan yang
bisa dirasa dari tiap kata yang diucapkan dalam percakapan itu. Sebab, mereka
tampaknya tahu, perpisahan kali ini tidak perlu disikapi dengan cara seperti
itu.
Berbahagialan. Berbahagialah. :*
ReplyDelete