Monday 13 January 2014

Tentang Kehilangan, Getar yang Tak Hendak Dinamai, dan Suatu Mimpi


 I'am learning how to compromise the wild dream ideals and the necessary realities without such screaming pain. 
Sylvia Plath

Akan sangat klise jika saya memulai tulisan ini dengan bilang bahwa saya tidak tahu bagaimana harus memulainya. Sangat klise sebab ungkapan seperti itu sudah terlanjur sering kita dengar. Pun sudah terlalu sering kita rasakan. Seperti perasaan yang begitu jelas hadir tapi tak juga bisa kau pahami (apalagi jelaskan). Jadi bagaimana harus memulai tulisan ini?

Begini saja. Mari mulai dengan bilang bahwa di tengah 2013 kemarin ada sesuatu yang hilang dari hidup saya. Saya bisa menyebutnya kebiasaan. Seperti kebiasaan mendengarkan mixtape pengantar tidur, seperti kebiasaan begadang di malam hari, seperti kebiasaan mengecek sosial media, seperti begitu banyak hal biasa yang saya lakukan sehari-hari. Sempat ada kata-kata yang rajin hadir di kepala saya di awal-awal kehilangan ini. Kata-kata itu, seingat saya, berbunyi begini: “Kepada serigala yang sedang jadi kuda....” Saya tahu, kata-kata itu pasti terdengar aneh untuk menggambarkan perasaan kehilangan.

Saya lupa detil suasana saat ia menyampaikan pernyataan yang jadi alasan kenapa kata-kata itu hadir di kepala saya. Tapi ingatan saya, seperti yang sudah-sudah, ternyata tidak mudah melupakan kata-kata. Dan kali itu, kata-kata inilah yang terekam dengan baik di kepala saya, “Ngerti ora. Jare, di usia 25 tahun manusia jadi seperti kuda.” (Tahu gak. Konon, di usia 25 tahun, manusia jadi seperti kuda).

Ia baru saja berulang tahun ke 25 beberapa bulan sebelum kata-kata itu ia ucapkan. Ia lalu meninggalkan Yogya beberapa saat setelah kata-kata itu saya simpan baik-baik di kepala saya. Kenapa kuda? Sebab kuda identik dengan kerja keras. Dan ia meninggalkan Yogya untuk bekerja di kota yang tak selambat kota ini. Ia memilih jadi seperti kuda sementara saya telanjur mengenalnya sebagai seseorang yang mengidentikkan diri dengan serigala. Waktu ia mengatakan tentang umur 25 dan kuda, saya sempat ingin bilang, “Tapi kowe kan serigala!” (Tapi kamu kan serigala!) Seolah ia tidak boleh memilih untuk jadi seperti hewan lain yang tidak lebih keren dari serigala, seperti ia tidak boleh menerima apa yang sudah jadi bagian dari usia 25. 

Diambil tanpa izin dari akun behance miliknya. Judulnya 'Failure'. Semata-mata diambil karena kebetulan ada simbol-simbol Pisces (zodiaknya) dan Aries (zodiak saya) di sana. Juga beberapa tabung reaksi yang pecah.

Bersamaan dengan perasaan kehilangan, saya lalu sibuk membongkar laci-laci di memori saya. Seperti keping-keping puzzle, peristiwa hadir terpecah-pecah. Ada ingatan tentang namanya yang tertulis di kertas undian yang saya dapatkan pada sebuah permainan di masa OSPrEK. Ada gambar samar dan suara tak jelas dari percakapan kami saat ia meminta tulisan saya untuk buletin yang diurusnya. Ada omongan ngawurnya tentang saya cocok jadi copy-writer. Ada pesan-pesan pendek tak jelas yang ia kirimkan ke saya. Ada saya yang bercerita kepadanya dengan santai lewat layanan obrolan di facebook tentang keluarga saya. Ada beberapa baris merah jambu di pesannya yang jadi sebab saya pernah mencatat di agenda 2011 saya bahwa saya harus jadi teman baiknya. Ada peristiwa saat ia memberikan kado di usia ke 20 saya. Ada adegan saat saya menyarankan dia untuk berkencan dengan beberapa nama. Ada kami yang duduk-duduk di kedai kopi bercakap tentang banyak hal. Ada kami sedang berbagi sebotol bir di sebuah kedai hamburger pinggir jalan. Ada saya yang memberinya The Little Prince. Ada saya yang mengambil terlalu banyak foto-narsis di Ipod touchnya yang kemudian hilang beberapa jam setelah itu. Ada ia yang bilang mau belajar menyetir menggunakan mobil saya supaya kami bisa gantian menyetir. Ada saya yang datang ke kamar kosnya hanya untuk menangis. Ada ia yang membantu saya membuat permintaan maaf untuk pacar saya saat itu. Ada ia yang memperlihatkan foto perempuan yang ia sukai. Ada kami yang heboh memilih piring di sebuah supermarket. Ada kami yang tertawa-tawa di toko buku. Ada kami yang bercanda dengan anak-anak di ruang kecil di bantaran Code. Ada pertanyaan dari teman-teman saya tentang apakah ia kekasih saya. Ada ide membuat cerita anak bersama: saya di cerita, ia di ilustrasi. Ada saya yang mengirim pesan singkat tak penting kepadanya. Ada kami sibuk membahas benda-benda yang kami lihat di carrefour. Ada ia yang memberi saran untuk tulisan saya. Ada ia yang beberapa kali berkunjung ke toko tempat saya jadi gadis-penjaga-toko. Ada ia yang beberapa kali mengajak saya nongkrong tapi saya tolak sebab saya tidak siap melihat dia sibuk mengerjakan skripsi sedang niat untuk mengerjakan skripsi saya tak punya. Ada saya yang mengajaknya ke bioskop tapi ia tolak karena sudah punya "teman nonton". Ada banyak sekali... 

Saya pindai satu persatu peristiwa itu dan saya baru sadar bahwa ada getar yang tak pernah hendak saya namai di sana. Dan sekarang, meski makin nyata, saya masih juga tak hendak menamai ini apa-apa. Saya tidak tahu bagaimana membicarakan semua ini dengannya. Bersama-sama mengurai satu persatu semua ini. Memintanya membantu saya membuat terang getar yang ada, memintanya membantu saya menamainya. Di fase tertentu, saat semua ini membuat saya hanya ingin mengurung diri di kamar, saya selalu ingin menghubunginya. Marah-marah atau menangis karena kebingungan. “Tapi ia pasti sibuk, Sita. Ia, tak sepertimu, tidak butuh semua drama ini.”

Setidaknya, ia sudah tahu lewat pesan samar saya yang diresponnya dengan tidak jelas. Ia terlalu pintar untuk tidak mengambil kesimpulan atas gelagat saya, saya tidak cukup bodoh sehingga tidak bisa mengartikan sikapnya.

Jauh sebelum kehilangan ini, kami toh pernah bercakap-cakap:


Kalau Pisces dan Aries gimana?”

“Gak cocok.”

Lalu kami tertawa.

Tapi, pada suatu mimpi, saya melihat seseorang sibuk menghapus garis-garis yang dibuatnya sendiri. Sedang seseorang yang lain menanti, di luar garis itu, dengan sabar. Pada suatu mimpi, saya melihat kami adalah dua orang itu.

No comments:

Post a Comment