I'am learning how to compromise the wild dream ideals and the necessary realities without such screaming pain.
Sylvia Plath
Begini saja. Mari mulai dengan bilang
bahwa di tengah 2013 kemarin ada sesuatu yang hilang dari hidup saya. Saya bisa menyebutnya kebiasaan. Seperti kebiasaan
mendengarkan mixtape pengantar
tidur, seperti kebiasaan begadang di malam hari, seperti
kebiasaan mengecek sosial media, seperti begitu banyak hal biasa yang
saya lakukan sehari-hari. Sempat ada kata-kata yang rajin hadir di
kepala saya di awal-awal kehilangan ini. Kata-kata itu, seingat saya,
berbunyi begini: “Kepada serigala yang sedang jadi kuda....” Saya
tahu, kata-kata itu pasti terdengar aneh untuk menggambarkan perasaan
kehilangan.
Saya lupa detil suasana saat ia
menyampaikan pernyataan yang jadi alasan kenapa kata-kata itu hadir
di kepala saya. Tapi ingatan saya, seperti yang sudah-sudah, ternyata
tidak mudah melupakan kata-kata. Dan kali itu, kata-kata inilah yang
terekam dengan baik di kepala saya, “Ngerti ora. Jare, di usia 25 tahun manusia jadi seperti kuda.” (Tahu
gak. Konon, di usia 25 tahun, manusia jadi seperti kuda).
Ia baru saja berulang tahun ke 25 beberapa bulan sebelum kata-kata itu ia ucapkan. Ia lalu meninggalkan Yogya beberapa saat setelah kata-kata itu saya simpan baik-baik di kepala saya. Kenapa kuda? Sebab kuda identik dengan kerja keras. Dan ia meninggalkan Yogya untuk bekerja di kota yang tak selambat kota ini. Ia memilih jadi seperti kuda sementara saya telanjur mengenalnya sebagai seseorang yang mengidentikkan diri dengan serigala. Waktu ia mengatakan tentang umur 25 dan kuda, saya sempat ingin bilang, “Tapi kowe kan serigala!” (Tapi kamu kan serigala!) Seolah ia tidak boleh memilih untuk jadi seperti hewan lain yang tidak lebih keren dari serigala, seperti ia tidak boleh menerima apa yang sudah jadi bagian dari usia 25.
Ia baru saja berulang tahun ke 25 beberapa bulan sebelum kata-kata itu ia ucapkan. Ia lalu meninggalkan Yogya beberapa saat setelah kata-kata itu saya simpan baik-baik di kepala saya. Kenapa kuda? Sebab kuda identik dengan kerja keras. Dan ia meninggalkan Yogya untuk bekerja di kota yang tak selambat kota ini. Ia memilih jadi seperti kuda sementara saya telanjur mengenalnya sebagai seseorang yang mengidentikkan diri dengan serigala. Waktu ia mengatakan tentang umur 25 dan kuda, saya sempat ingin bilang, “Tapi kowe kan serigala!” (Tapi kamu kan serigala!) Seolah ia tidak boleh memilih untuk jadi seperti hewan lain yang tidak lebih keren dari serigala, seperti ia tidak boleh menerima apa yang sudah jadi bagian dari usia 25.
Saya pindai satu persatu peristiwa itu dan saya baru sadar bahwa ada getar yang tak pernah hendak saya namai di sana. Dan sekarang, meski makin nyata, saya masih juga tak hendak menamai ini apa-apa. Saya tidak tahu bagaimana membicarakan semua ini dengannya. Bersama-sama mengurai satu persatu semua ini. Memintanya membantu saya membuat terang getar yang ada, memintanya membantu saya menamainya. Di fase tertentu, saat semua ini membuat saya hanya ingin mengurung diri di kamar, saya selalu ingin menghubunginya. Marah-marah atau menangis karena kebingungan. “Tapi ia pasti sibuk, Sita. Ia, tak sepertimu, tidak butuh semua drama ini.”
Setidaknya, ia sudah tahu lewat pesan samar saya yang diresponnya dengan tidak
jelas. Ia terlalu pintar untuk tidak mengambil kesimpulan atas
gelagat saya, saya tidak cukup bodoh sehingga tidak bisa mengartikan sikapnya.
Jauh
sebelum kehilangan ini, kami toh pernah
bercakap-cakap:
“Kalau Pisces
dan Aries gimana?”
“Gak cocok.”
Lalu
kami tertawa.
Tapi, pada suatu mimpi, saya melihat seseorang sibuk menghapus garis-garis
yang dibuatnya sendiri. Sedang seseorang yang lain menanti, di luar garis
itu, dengan sabar. Pada suatu mimpi, saya melihat kami adalah dua
orang itu.
No comments:
Post a Comment