Tuesday 25 June 2013

Identitas, Nyala Api dalam Kebhinekaan*

*Naskah ini adalah salah satu dari 30 esai terbaik Kompetisi Esai Mahasiswa (KEM) 2012
oleh Tempo Institute. Yang tertarik ikut KEM 2013, sila cek di sini.


Menyoal kebhinekaan, sejak Sekolah Dasar saya sudah lekat dengan persoalan-persoalan tentangnya. Bukan hanya lewat pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) dimana guru mengajarkan ide-ide tentang keberagaman lewat pertanyaan sederhana, “Jadi, bhineka tunggal ika itu artinya berbeda-beda tetapi tetap apa, anak-anak?’ yang akan dijawab serentak oleh saya dan teman-teman yang duduk manis, “Tetapi tetap satu, bu.” Tapi juga lewat orang-orang terdekat saya. Satu yang paling membekas adalah peringatan: “Jangan minum dari termos air milik temanmu yang Kristen. Nanti Allah marah.” Saya tidak paham kenapa Allah bisa marah hanya karena saya minum dari termos milik teman yang Kristen. Namun, saya patuh-patuh saja. Saat itu saya selalu memilih menahan haus jika pilihan lainnya adalah harus minum dari termos teman yang Kristen karena uang jajan dan bekal air di termos saya telah habis. Seiring bertambahnya usia, saya jadi paham bahwa pernyataan tersebut muncul sebab perkara haramnya (menurut Islam) makanan yang dikonsumsi kawan-kawan yang Kristen. Ditambah lagi, di tahun 1999, saat saya masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar, kerusuhan besar antara Islam dan Kristen pecah di Poso (meski kemudian ada pembacaan bahwa konflik tersebut tidaklah semata-semata konflik antar-agama). Kebetulan, saya lahir dan menetap di Palu (yang berjarak  221 km dari Poso). Kebetulan lagi, keluarga besar ibu saya menetap di Poso serta jadi korban langsung dari konflik itu. Peringatan yang membekas itu datang dari adik-adik ibu saya. Sangat mungkin ada hubungan antara situasi konflik di Poso saat itu dan peringatan yang diberikan ke saya.

Saya makin lekat dengan soal-soal tentangnya setelah memutuskan meninggalkan Palu untuk melanjutkan SMA. Pulau Jawa menjadi tujuan dengan pertimbangan klasik bahwa pulau Jawa adalah tempat yang baik untuk belajar dibandingkan dengan Palu yang ada di wilayah Indonesia Timur. Semarang jadi titik nol perantauan saya. Di sana, ada begitu banyak hal yang berbeda dengan apa yang ada di Palu. Saya belajar Bahasa Jawa serta belajar kebiasaan-kebiasaan baru. Singkatnya, saya menyerap dan beradaptasi dengan sangat cepat terhadap banyak hal baru itu. Meski, tentu saja, awalnya saya sempat mengalami keterkejutan budaya.

Setamat SMA, saya pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan. Yogyakarta menambah pengalaman saya tentang keberagaman. Di Yogyakarta saya bertemu dan bertukar pikiran dengan begitu banyak manusia. Suku mereka beragam, agama mereka tak satu, dan masih banyak pembeda-pembeda lainnya. Tahun ini masuk tahun keempat saya di Yogyakarta. Meski mengamini bahwa manusia yang berbeda-beda bisa hidup bersama di kota ini, buat saya masih ada api dalam sekam terkait perbedaan itu.



Contoh sederhananya, beberapa teman yang bersuku Jawa masih suka, meski dengan bercanda, berkata kepada saya, “Basa Jawamu wagu, kaya nang FTV (Bahasa Jawamu aneh, seperti di FTV).” Siapapun yang pernah menyaksikan FTV (Film Televisi) yang menjadikan Yogyakarta atau Solo sebagai latar tempatnya pastilah paham bagaimana aktris dan/atau aktornya menggunakan Bahasa Jawa. Terkesan dipaksakan dan, karena itu, di mata teman-teman yang penutur asli Bahasa Jawa, aneh. Padahal, saya sudah menggunakan Bahasa Jawa sejak SMA. Satu-satunya alasan saya menggunakan Bahasa Jawa dalam keseharian, khususnya saat bergaul dengan teman-teman yang penutur asli Bahasa Jawa, adalah masalah kenyamanan dan keinginan untuk makin akrab. Komentar-komentar seperti itu di titik-titik tertentu bisa diartikan sebagai cara teman-teman menegaskan perbedaan saya dengan mereka.

Contoh lainnya, saat saya bergaul dengan teman-teman yang berasal dari Palu dan berkuliah di Yogyakarta. Jika sudah berkumpul, tak jarang sentimen-sentimen kesukuan hadir dalam percakapan mereka. Tentang bagaimana kawan-kawan yang bersuku Jawa suka tidak peka sebab tetap menggunakan Bahasa Jawa saat berbincang dengan mereka (dan itu membuat mereka sebal.), tentang bagaimana mereka menyayangkan (meski selalu diungkapkan dengan nada bercanda) bahwa anak-anak kecil di Yogyakarta yang alih-alih menggunakan Bahasa Indonesia malah menggunakan Bahasa Jawa dalam kesehariannya (mereka bahkan menduga bahwa anak-anak itu pastilah mendapat nilai jelek untuk pelajaran Bahasa Indonesia!), tentang bagaimana kawan-kawan yang bersuku Jawa suka berlaku superior di hadapan mereka, dan beberapa hal lainnya.

Fenomena berikut adalah contoh yang paling mengganggu saya. Begini. Di Yogyakarta ada begitu banyak teman-teman yang berasal dari Papua. Kebetulan, di Yogyakarta saya berdomisili di daerah yang sama dengan banyak teman-teman dari Papua. Saya sering melihat mereka berkumpul bersama-bersama, entah di tempat bermain futsal, entah di warung makan. Seorang kawan pernah berkata, “Orang-orang Timur (merujuk ke teman-teman dari Papua itu) kok bergaulnya sama mereka-mereka saja ya?” saat kami berkendara dan melintas di depan kawan-kawan dari Papua yang sedang berkumpul. Entah apa alasan di balik keadaan itu, apakah kawan-kawan dari Papua memang sengaja mengasingkan diri mereka, atau justru ada yang salah dengan cara pandang kawan-kawan bersuku lainnya terhadap kawan-kawan dari Papua sehingga mereka tampak seperti tidak berbaur? Faktanya, term ‘orang-orang timur’ yang merujuk pada mereka yang berasal dari Timur, khususnya yang berkulit legam dan berambut keriting, eksis di Yogyakarta dan seringnya diikuti dengan ide-ide yang kurang elok tentang term itu. Saya pikir term tersebut bisa jadi sama mengganggunya dengan term ‘kulit hitam’ atau ‘negro’ yang pernah eksis di Amerika Serikat.

Terkait isu keagamaan, saya jadi ingat bahwa 4 hari sebelum saya menulis esai ini, saya terlibat pembicaraan dengan seorang bapak. Ia adalah seorang staf administrasi di universitas saya. Dari berkas yang saya berikan padanya, ia jadi tahu di fakultas apa saya belajar. Ia lantas menyebut nama salah seorang dosen dan bertanya apakah saya diajar olehnya. Ketika saya katakan bahwa benar saya diajar oleh dosen tersebut, ia lalu berkata, “Kasihan dia (dosen saya).” Saya yang tidak paham konteks jelas bertanya, “Kasihan kenapa, bapak?” Bapak itu lalu menjelaskan bahwa dosen saya itu dulunya adalah seorang Islam tapi kemudian pindah agama. Itulah kenapa ia mengasihani dosen saya. Menurutnya, pilihan untuk berpindah agama adalah pilihan yang sangat salah.

Terlanjur sering saya mendengar pernyataan tentang Yogyakarta sebagai miniatur Indonesia. Jika benar Yogyakarta adalah miniatur Indonesia dan saya masih melihat ada api dalam sekam terkait masalah kebhinekaan di sini, bisa jadi memang begitulah keadaan keberagaman Indonesia yang sebenarnya. Benar bahwa Negara ini mengakui ada beragam suku, agama, dan ras. Benar juga bahwa suku, agama, dan ras yang beragam itu bisa hidup bersama di satu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, ada nyala yang selalu siap terbakar dalam diri kebhinekaan Indonesia itu. Lihatlah betapa banyak konflik berbau SARA yang terjadi di Indonesia. Konflik Poso yang saya sebut di paragraf pertama esai ini adalah salah satunya.

Dalam tulisan berjudul Tiga "Teori" Kekerasan Poso yang dirilis Suara Pembaharuan pada 2 Desember 2005, Arianto Sangadji menyatakan konflik Poso sendiri bisa dibaca sebagai konflik yang sarat manipulasi terhadap identitas etno-religius. Satu dari tiga “teori” yang diajukannya terkait kekerasan di Poso adalah pertarungan politik lokal (pergantian bupati Poso akhir 1998 hingga 1999). Ada pertarungan antar politisi saat itu untuk meraih kekuasaan politik dan birokrasi dengan memanipulasi identitas suku dan agama. Jika argumen Sangadji benar, ada fakta yang terkuak. Fakta bahwa identitas suku, agama, dan ras memang bisa dengan mudah ditunggangi kepentingan lain. Tak hanya di Poso. Saya pikir masih banyak contoh kasus penunggangan isu identitas suku, agama, dan ras oleh kepentingan-kepentingan lain. Yang terbaru misalnya, ribut-ribut terkait identitas suku, agama, dan ras dalam Pilkada DKI Jakarta. Ya, persoalan identitas membuat manusia seakan “rela” menyerahkan dirinya pada medan pertempuran (entah kata, entah fisik) untuk menghadapi manusia lain yang berbeda identitas suku, agama, dan rasnya.

Alhasil, pernyataan saya tentang api dalam sekam di tubuh kebhinekaan Indonesia kemungkinan besar benar. Lalu apa itu yang saya maksud sebagai api dalam sekam? Ia adalah perasaan superior dalam diri kebanyakan orang tentang suku, ras, dan agamanya sendiri. Sesuatu yang jujur tidak saya miliki, apalagi setelah saya merantau selama 7 tahun. Betapa saya cemburu ketika mendengar orang lain bisa berkata “Saya Jawa!”, “Saya Batak!”, “Saya Bugis!” dan sebagainya dengan yakin.

Sejak dari darah, kesukuan saya sudah tidak murni. Ayah Tidore. Mama Palembang, Poso, dan Gorontalo. Saya lahir di Palu yang mayoritas sukunya adalah Kaili. Tanpa sempat belajar banyak tentang tanah kelahiran, saya sudah merantau ke pulau Jawa. Jika perasaan superior tentang suku hadir karena rasa memiliki yang absolut, maka sepertinya saya memang pantas untuk tidak memilikinya. Saya merasa saya setengah-setengah. Saya Tidore, Palembang, Gorontalo, dan Poso tersebab darah, meski bahkan tidak pernah ke Tidore, Palembang, dan Gorontalo. Saya tidak pernah menjadi Kaili, tapi lahir di Palu dan tetap merasa memiliki ikatan emosional, meski tidak terlalu kuat, dengan tanah kelahiran saya itu. Saya merasa saya Jawa sebab belajar banyak darinya meski tidak pernah menjadi Jawa.

Ada sentimentalia tersendiri di dalam diri saya terkait keadaan ini. Terlebih lagi jika menjadi bagian dari acara yang meminta saya untuk menampilkan pertunjukan yang bisa mewakili identitas kesukuan. Saya bahkan pernah menangis karena tidak bisa melakukannya. Saya menangis karena jadi ingat pernyataan-pernyataan sinis tentang anak muda yang telah melupakan akar budayanya. Pernyataan yang muncul karena mereka dipandang tak acuh pada tradisinya dimana tradisi kerap kali diasosiasikan dengan peninggalan budaya (baju adat, misalnya) dan kesenian tradisional (seperti tari-tarian dan nyanyi-nyanyian tradisional). Jujur saja, saya juga ingin berkata dengan lantang mengenai identitas kesukuan saya, jika perlu lewat pertunjukan kesenian. Sayangnya, saya tidak pernah bisa melakukannya.

Hal yang sama juga berlaku dalam soal agama. Keyakinan bahwa Islam adalah agama terbaik seperti yang selama ini diajarkan oleh orang-orang terdekat saya sempat goyah. Alasannya, saya yang kebetulan belajar di sebuah universitas swasta Katolik jadi paham bahwa ajaran agama lain juga penuh cinta kasih seperti ajaran agama saya. Jika dengan ajaran Katolik saja ajaran Islam sudah sama baiknya, tidak menutup kemungkinan begitu pula dengan ajaran agama-agama yang lain. Saya bahkan sering tertawa sendiri mengingat peristiwa masa kecil yang diceritakan di awal esai ini. Saya tak lagi takut berbagi makanan dan minuman dengan teman-teman yang Kristen. Saya yakin Tuhan tidak mungkin marah karena berbagi makanan dengan mereka. Apalagi sebab Tuhan yang Maha Mengetahui pastilah tahu bahwa saya sering teringat kepadaNya saat melihat sahabat-sahabat saya itu khusyuk berdoa sebelum menyantap makanan.

Boleh jadi, saya tidak sendiri. Ada beberapa orang yang seperti saya. Yang setengah-setengah. Yang merasa memiliki tak hanya satu suku, agama, dan ras tertentu, tapi nyatanya tidak pernah benar-benar memiliki. Saya mengibaratkan ini dengan keadaan memiliki terlalu banyak rumah yang tak satupun dikenali dengan baik jalan pulang menuju mereka. Tapi mungkin memang ada kelompok yang ditakdirkan untuk tidak pulang ke salah satu rumah. Jadi orang-orang yang terus berjalan untuk menemukan rumah-rumah baru, untuk mengidentifikasikan diri dengan  suku, agama, dan ras yang lain tanpa pernah benar-benar menjadi salah satunya. Sebetapa melelahkannya perjalanan itu.

Jika saya merasakan sentimentalia dan kegundahan, bisa jadi beberapa orang seperti saya juga merasakan hal yang sama. Tapi ada yang selalu berhasil menenangkan sentimentalia dan kegundahan saya. Ia adalah keyakinan bahwa identitas yang kabur ini justru membuat saya tidak akan mau menghabiskan waktu untuk menghancurkan yang-lain karena persoalan identitas. Identitas yang kabur memang membuat saya tak bisa menari dan bernyanyi tradisional demi menunjukan (apa yang dinamakan orang) kebanggaan akan akar budaya bangsa. Namun, setidaknya identitas yang kabur ini membuat saya turut dalam menciptakan perdamaian Indonesia sebab merasa tidak butuh untuk ribut karena perkara identitas.

Keadaan saya merupakan akumulasi dari pengalaman subjektif sebagai manusia. Jelas, tidak semua manusia memiliki pengalaman yang sama dengan saya. Sebagai sesuatu yang sudah dikondisikan bertahun-tahun, perasaan superior akan identitas suku, agama, dan ras masing-masing pastilah tertanam jauh di alam bawah sadar banyak manusia. Ia tidak bisa begitu saja hilang dan memang tidak ada yang mengharuskannya untuk hilang. Menurut saya yang paling mungkin dilakukan adalah mencari kawan bagi perasaan superior itu. Opsi yang saya ajukan adalah kerendahan hati untuk menerima yang-lain. Sebab, pada akhirnya, berpikir bahwa diri sendiri itu unggul itu tak masalah selama tetap memberi ruang dalam diri bagi kerendahan hati.

1 comment:

  1. Wah pernah tinggal di palu ya? tulisannya bagus kak, emang layak masuk 30 besar:)

    ReplyDelete