Sunday 3 February 2013

Pangeran Kecil, Orang Dewasa, dan Saya yang Kekanak-kanakan



Memang begitulah mereka. Kau tak usah menyesali mereka. Anak-anak harus sangat sabar terhadap orang-orang dewasa. (Pangeran Kecil, Hal. 24)

“Pangeran Kecil” dari Antoine de Saint-Exupery adalah salah satu dari beberapa karya sastra yang tak segan saya baca berulang-ulang. Jumlah halamannya sedikit, ceritanya, bagi saya, menakjubkan. Dengan alasan kedua, saya pernah menghadiahkan “Pangeran Kecil” kepada dua orang. Yang pertama, kawan saya. Yang kedua, kekasih saya. Saya hadiahkan mereka tahun 2011 (jika saya tak salah ingat). Tapi hingga sekarang mereka berdua belum juga selesai membaca “Pangeran Kecil”. Padahal saya hanya perlu 1-2 jam untuk menyelesaikan “Pangeran Kecil” dalam sekali baca. Tapi, seperti baris yang saya kutip di atas, tak usah menyesali mereka. Saya pikir mereka punya alasan atas belum juga menyelesaikan “Pangeran Kecil”.

Kawan saya, Hanz Sinelir, mendapat “Pangeran Kecil” sebagai hadiah atas gelar sarjananya. Setelah mendapat gelar sarjana, Hanz bekerja (sambil menyelesaikan kuliahnya di universitas lainnya. Iya, Hanz ini berkuliah di dua tempat.) Ibarat tokoh dalam “Pangeran Kecil”, Hanz adalah Penyulut Lampu sekaligus Geografer. Hanz sibuk “mematuhi” tuntutan-tuntutan dari pekerjaannya serupa Penyulut Lampu yang setia menaati perintah untuk menghidup-matikan lampu di planetnya. Ia juga masih harus berkutat dengan buku-buku besar layaknya Geografer. 


Kekasih saya lain lagi. Saya berikan “Pangeran Kecil” padanya di masa-masa saya memilih untuk pergi dari hubungan kami. Saya pikir, kami sama-sama terluka sebab keputusan saya. Sekarang, saat kami sudah bersama lagi, kami sering berbagi tentang kehidupan masing-masing saat putus dulu. Kekasih saya berulang kali bilang bahwa ia merasa kesepian di terlalu banyak malam. Saya lalu membayangkan kalau ia pernah sibuk serupa Peminum. Yang ketika ditanya Pangeran Kecil, “Kenapa kau minum?” menjawab “Untuk melupakan.” Tapi, selama itu (dan sampai sekarang), kekasih saya juga berusaha keras agar serupa Geografer yang sibuk menulis. 

Dan jika mereka berdua sibuk begitu, sulit untuk tidak menganggap bahwa bagi mereka menyelesaikan sebuah buku adalah perkara sepele. Apalagi sebab buku itu tidak membantu apa-apa untuk menyelesaikan kesibukan mereka. Apalagi buku itu berjudul “Pangeran Kecil”, yang ditulis dengan bahasa yang sederhana, yang ada ilustrasi-ilustrasi serupa buku untuk anak-anak. Mungkin, bagi mereka “Pangeran Kecil” terlalu sepele. 


Aih, padahal saya memberikan “Pangeran Kecil” sebab saya bisa mengidentifikasikan hubungan saya dengan mereka di “Pangeran Kecil”. Saya ingin Hanz tahu  bahwa saya mengaitkan hubungan saya dengannya seperti hubungan Pangeran Kecil dan Rubah. Bahwa bagian berikut:
“Aku ingin menjinakkanmu,” jawab pangeran kecil, “tetapi aku tak punya banyak waktu. Aku harus mencari teman dan belajar memahami banyak hal.”

“Kita hanya bisa memahami apa yang telah kita jinakkan. Manusia tak lagi punya waktu untuk memahami segala hal. Mereka membeli segala barang yang sudah jadi di toko. Tetapi tak ada toko yang menjual teman, maka manusia tak lagi punya teman. Jika kau menginginkan teman, jinakkanlah aku!”
Serta bagian lainnya di mana ada Pangeran Kecil dan Rubah mengingatkan saya pada pertemanan kami. Saya berikan “Pangeran Kecil” pada kekasih saya, sebab saya ingin dia tahu soal hubungan antara Pangeran Kecil dengan bunga mawar. Saya ingin dia tahu meski Pangeran Kecil pergi dari planetnya (dan meninggalkan bunga mawar di sana), Pangeran Kecil selalu memikirkan bunga mawar. Saya juga ingin kekasih saya tahu bahwa Pangeran Kecil pernah berkata kepada bunga-bunga mawar yang lain: “...Tentu saja, orang yang sekadar lewat akan mengira mawarku, walaupun cuma setangkai, jauh lebih berarti daripada kalian semua, karena dialah yang kusirami. Karena dialah yang kututup dengan kubah kaca. Karena dialah yang kulindungi dengan tabir. Karena dialah yang ulat-ulatnya kubunuh (kecuali dua atau tiga yag kami biarkan hidup agar menjadi kupu-kupu). Karena dialah yang kudengarkan, waktu dia mengeluh, atau menyombongkan diri, atau ketika dia cuma membisu. Karena dia mawarku.”


Tapi sekali lagi, seperti orang-orang dewasa lainnya, mereka berdua terlalu sibuk untuk menyelesaikan “Pangeran Kecil”. Dan saya, mungkin, terlalu kekanak-kanakan sebab membuat tulisan seperti ini. 

*Gambar-gambar diambil dari google.

3 comments:

  1. kamu orang dewasa yg kekanak-kanakan. #7harimenulis

    ReplyDelete
  2. berbahagialah kita yang mampu menikmati cerita anak-anak dan menyadari pelajaran 'mendewasakan' di dalamnya yang kadang tak terpikirkan (atau mungkin sengaja diabaikan) oleh orang dewasa dan bacaan-bacaan 'dewasa'nya :)

    ReplyDelete
  3. oh i like it. pada sesuatu yg sederhana, ternyata kamu mengartikannya sangat dalam sekali. sweet :)

    ReplyDelete