Haviez Maulana: Stuck in the Moment | Havisportfolio.tumblr.com |
Tiap bepergian dari satu
tempat ke tempat lain, aku selalu membuat peta.
Peta jalan yang aku lalui dari, misalnya, kontrakan kekasihku ke sebuah
galeri seni rupa. Bahkan untuk yang jarak tempuhnya pendek, seperti dari
fakultasku ke gedung perpustakaan pusat kampusku. Itulah kenapa aku selalu
membawa buku catatan dan pensil. Biasanya sembari kendaraan bergerak, aku sibuk
berpindah-pindah dari memperhatikan jalan ke menuliskan garis-garis peta di
catatanku. Jika berjalan kaki, aku sering berhenti hanya untuk menggambar peta
jalan yang telah aku tempuh. Kebiasaan itu telah kumulai bertahun-tahun yang
lalu. Kebiasaan itu datang tidak tanpa alasan.
***
Usiaku enam tahun waktu
itu. Tiap tengah malam aku terbangun. Suara isak mama jadi wekerku. Dari atas
tempat tidur, aku lihat mama duduk di atas sajadah dengan mukena putihnya. Aku
terlalu mengantuk untuk beranjak dari tempat tidur dan menghibur mama. Maka aku
selalu tertidur lagi setelah sebelumnya berjanji untuk berbicara tentang tangis
mama keesokan harinya. Tapi janjiku seperti mimpi-mimpi yang terlupakan saat
bangun. Aku lupa bertanya di pagi hari. Begitu terus. Hingga suatu malam, mama
menangis keras sekali. Dari mulutnya keluar suara sengau menyebut nama papa.
Aku pikir yang itu adalah mimpi buruk. Aku tak mungkin tidur lagi.
“Mama, kenapa menangis keras
sekali? Mama lagi apa?”
“Mama sedang berdoa.”
“Berdoa untuk papa?”
Setelah begitu banyak malam, aku baru sadar bahwa tangisan-tangisan itu ada
kaitannya dengan papa.
“Iya, berdoa biar papamu
mati, Lara.”
Mama lalu bilang kalau
papa jahat sebab tak pulang-pulang. Mama teraniaya. Kami, kata mama teraniaya.
Oleh papa. Kata mama, Tuhan berjanji akan mengabulkan doa orang teraniaya. Tapi
aku ingat, di sekolah, ibu guru agamaku pernah berkata, “Doa yang buruk tidak
akan dikabulkan Tuhan.” Mendoakan supaya seseorang mati sepertinya bukan doa
yang baik. Aku bingung mana yang benar. Doa mama atau ajaran ibu guru. Yang
jelas, tak juga ada kabar bahwa papa mati. Meski papa tetap tak pulang-pulang.
***
Ini sudah tahun ketiga
papa tidak pulang. Selama tiga tahun ini aku belajar beberapa hal tentang papa.
Papaku itu pejalan jauh. Mungkin papa kelelahan. Kata orang, lelah adalah nama
bagi semua tempat singgah.* Papa menemukan tempat singgah itu. Di sanalah papa
selama ini. Sejak mama tahu letak tempat singgah papa setahun yang lalu, kami
sering mencuri lihat aktivitas tempat itu dari balik taksi yang disewa mama. Di
kali ketiga melihat tempat singgah papa, aku simpulkan bahwa papa menetap di
tempat singgah itu sebab papa lupa jalan pulang. Aku putuskan untuk mulai
memperhatikan perjalanan dari rumah ke tempat singgah papa lalu ke rumah lagi
dengan seksama. Seminggu sebelum ulang tahun papa, di bulan April, mama
mengajakku ke sana lagi. Aku bawa serta alat tulisku. Aku harus membuatkan papa
peta ke rumah kami.
“Ma, ayo ke tempat
singgah, papa. Hari ini papa ulang tahun.”
“Mama sudah bilang ke
Lara kan kalau kita gak boleh bertemu papa di sana?”
“Iya. Tapi Lara mau kasih
kado ulang tahun buat papa. Tapi gak perlu ketemu papa kok.”
Peta itulah kado ulang
tahun buat papa.
***
Empat tahun berselang
sejak aku menyelipkan peta pulang itu di bawah pintu rumah perempuan yang
membuat papa lupa pada kami. Aku rasa, aku sudah besar saat itu. Sungguh. Aku
jadi tahu bahwa tidak ada perjalanan. Tidak ada tempat singgah. Tidak ada papa
yang pejalan jauh. Tidak ada. Yang ada hanya papa dan pengkhianatannya. Aku
pikir peta pulangku itu konyol sekali. Tidak efektif. Bisa saja peta itu
ditemukan oleh perempuannya dan ia membuang petaku. Atau bisa saja saat itu
papa dan perempuannya sedang keluar. Saat mereka masuk rumah, papa lupa membuka
sepatunya. Peta yang kuselipkan di bawah pintu terinjak sepatu papa. Petaku
jadi tak bisa dibaca. Entah. Yang pasti, sekali lagi, peta itu tidak efektif. Bikin
malu. Sejak dua tahun lalu, mama sudah berhenti mengintip kehidupan papa dan
perempuannya dari taksi. Aku berhenti turut serta dalam perjalanan itu di tiga
tahun yang lalu. Aku berhenti tepat setahun setelah petaku tidak berhasil
menuntun papa pulang. Sebagai gantinya, aku ikut mama sujud tiap tengah malam.
“Doa mama masih sama,
Lara,” kata Mama saat aku bertanya soal doanya.
***
Aku pernah membaca sebuah
puisi. Puisi itu dibuka dengan April
adalah bulan yang paling kejam.* Baris itu aku ingat terus. Papa lahir di
bulan April. Pada April bertahun-tahun yang lalu, saat itu aku 16 tahun, pintu
rumah kami diketuk. Aku membuka pintu. Papa di hadapanku. Terlalu lama aku
tidak bertemu dengannya dan hanya mengenang rupanya lewat foto-foto di rumah.
Perasaan aneh muncul di salah satu ruang dalam tubuhku. Perasaan aneh yang
makin menjadi-jadi saat aku melihat ada petaku di tangan papa. Papa bilang peta
itu yang membawanya pulang. Papa bilang selama ini ia tersesat. Papa bilang mau
bersama kami lagi. Kata mama, kenapa harus
begitu lama. Kata mama, mama sudah menyerah. Kata mama, papa sudah mati.
Di hatinya.
Mama seperti menemukan
mayat papa saat kemunculannya April itu. Hidupnya jadi tenang setelah itu. Aku
tidak tahu bagaimana harus mengartikan papa. Aku gagap soal hubunganku dan
papa. Aku cuma tahu aku harus membawa buku catatan dan pensilku tiap bepergian.
Menggambar peta di sana dan memastikan jalan yang aku tempuh benar atau tidak. Aku
tidak mau bernasib sama dengan papa.
*Lirik dari sebuah kelompok musik bernama Jalan Pulang
*Terjemahan dari: April is the
cruellest month dalam The Burial of
the Dead milik T.S. Elliot.
Makasih, Sa. Tapi kayaknya masih loncat-loncat. :| Tadi sempat kepikiran mau minta tolong kamu buat ilustrasiin. Tapi karena gak yakin sama cerpennya, gak jadi. :))
ReplyDeleteCara tuturnya keren nih. Aku suka deh :D
ReplyDelete(Blogwalking On Mine: http://danazumario.tumblr.com)
waaa bagus. sukaa :)
ReplyDeleteboleh juga lho berkunjung ke blogku
http://goo.gl/nvZfF