Saturday 2 February 2013

Peta Lara



Haviez Maulana: Stuck in the Moment | Havisportfolio.tumblr.com


Tiap bepergian dari satu tempat ke tempat lain, aku selalu membuat peta.  Peta jalan yang aku lalui dari, misalnya, kontrakan kekasihku ke sebuah galeri seni rupa. Bahkan untuk yang jarak tempuhnya pendek, seperti dari fakultasku ke gedung perpustakaan pusat kampusku. Itulah kenapa aku selalu membawa buku catatan dan pensil. Biasanya sembari kendaraan bergerak, aku sibuk berpindah-pindah dari memperhatikan jalan ke menuliskan garis-garis peta di catatanku. Jika berjalan kaki, aku sering berhenti hanya untuk menggambar peta jalan yang telah aku tempuh. Kebiasaan itu telah kumulai bertahun-tahun yang lalu. Kebiasaan itu datang tidak tanpa alasan.
 
***

Usiaku enam tahun waktu itu. Tiap tengah malam aku terbangun. Suara isak mama jadi wekerku. Dari atas tempat tidur, aku lihat mama duduk di atas sajadah dengan mukena putihnya. Aku terlalu mengantuk untuk beranjak dari tempat tidur dan menghibur mama. Maka aku selalu tertidur lagi setelah sebelumnya berjanji untuk berbicara tentang tangis mama keesokan harinya. Tapi janjiku seperti mimpi-mimpi yang terlupakan saat bangun. Aku lupa bertanya di pagi hari. Begitu terus. Hingga suatu malam, mama menangis keras sekali. Dari mulutnya keluar suara sengau menyebut nama papa. Aku pikir yang itu adalah mimpi buruk. Aku tak mungkin tidur lagi. 
“Mama, kenapa menangis keras sekali? Mama lagi apa?”
“Mama sedang berdoa.”
“Berdoa untuk papa?” Setelah begitu banyak malam, aku baru sadar bahwa tangisan-tangisan itu ada kaitannya dengan papa.
“Iya, berdoa biar papamu mati, Lara.”
Mama lalu bilang kalau papa jahat sebab tak pulang-pulang. Mama teraniaya. Kami, kata mama teraniaya. Oleh papa. Kata mama, Tuhan berjanji akan mengabulkan doa orang teraniaya. Tapi aku ingat, di sekolah, ibu guru agamaku pernah berkata, “Doa yang buruk tidak akan dikabulkan Tuhan.” Mendoakan supaya seseorang mati sepertinya bukan doa yang baik. Aku bingung mana yang benar. Doa mama atau ajaran ibu guru. Yang jelas, tak juga ada kabar bahwa papa mati. Meski papa tetap tak pulang-pulang. 

***

Ini sudah tahun ketiga papa tidak pulang. Selama tiga tahun ini aku belajar beberapa hal tentang papa. Papaku itu pejalan jauh. Mungkin papa kelelahan. Kata orang, lelah adalah nama bagi semua tempat singgah.* Papa menemukan tempat singgah itu. Di sanalah papa selama ini. Sejak mama tahu letak tempat singgah papa setahun yang lalu, kami sering mencuri lihat aktivitas tempat itu dari balik taksi yang disewa mama. Di kali ketiga melihat tempat singgah papa, aku simpulkan bahwa papa menetap di tempat singgah itu sebab papa lupa jalan pulang. Aku putuskan untuk mulai memperhatikan perjalanan dari rumah ke tempat singgah papa lalu ke rumah lagi dengan seksama. Seminggu sebelum ulang tahun papa, di bulan April, mama mengajakku ke sana lagi. Aku bawa serta alat tulisku. Aku harus membuatkan papa peta ke rumah kami. 
“Ma, ayo ke tempat singgah, papa. Hari ini papa ulang tahun.”
“Mama sudah bilang ke Lara kan kalau kita gak boleh bertemu papa di sana?”
“Iya. Tapi Lara mau kasih kado ulang tahun buat papa. Tapi gak perlu ketemu papa kok.”
Peta itulah kado ulang tahun buat papa.

***

Empat tahun berselang sejak aku menyelipkan peta pulang itu di bawah pintu rumah perempuan yang membuat papa lupa pada kami. Aku rasa, aku sudah besar saat itu. Sungguh. Aku jadi tahu bahwa tidak ada perjalanan. Tidak ada tempat singgah. Tidak ada papa yang pejalan jauh. Tidak ada. Yang ada hanya papa dan pengkhianatannya. Aku pikir peta pulangku itu konyol sekali. Tidak efektif. Bisa saja peta itu ditemukan oleh perempuannya dan ia membuang petaku. Atau bisa saja saat itu papa dan perempuannya sedang keluar. Saat mereka masuk rumah, papa lupa membuka sepatunya. Peta yang kuselipkan di bawah pintu terinjak sepatu papa. Petaku jadi tak bisa dibaca. Entah. Yang pasti, sekali lagi, peta itu tidak efektif. Bikin malu. Sejak dua tahun lalu, mama sudah berhenti mengintip kehidupan papa dan perempuannya dari taksi. Aku berhenti turut serta dalam perjalanan itu di tiga tahun yang lalu. Aku berhenti tepat setahun setelah petaku tidak berhasil menuntun papa pulang. Sebagai gantinya, aku ikut mama sujud tiap tengah malam.
“Doa mama masih sama, Lara,” kata Mama saat aku bertanya soal doanya.

***

Aku pernah membaca sebuah puisi. Puisi itu dibuka dengan April adalah bulan yang paling kejam.* Baris itu aku ingat terus. Papa lahir di bulan April. Pada April bertahun-tahun yang lalu, saat itu aku 16 tahun, pintu rumah kami diketuk. Aku membuka pintu. Papa di hadapanku. Terlalu lama aku tidak bertemu dengannya dan hanya mengenang rupanya lewat foto-foto di rumah. Perasaan aneh muncul di salah satu ruang dalam tubuhku. Perasaan aneh yang makin menjadi-jadi saat aku melihat ada petaku di tangan papa. Papa bilang peta itu yang membawanya pulang. Papa bilang selama ini ia tersesat. Papa bilang mau bersama kami lagi. Kata mama, kenapa harus  begitu lama. Kata mama, mama sudah menyerah. Kata mama, papa sudah mati. Di hatinya. 
Mama seperti menemukan mayat papa saat kemunculannya April itu. Hidupnya jadi tenang setelah itu. Aku tidak tahu bagaimana harus mengartikan papa. Aku gagap soal hubunganku dan papa. Aku cuma tahu aku harus membawa buku catatan dan pensilku tiap bepergian. Menggambar peta di sana dan memastikan jalan yang aku tempuh benar atau tidak. Aku tidak mau bernasib sama dengan papa. 


*Lirik dari sebuah kelompok musik bernama Jalan Pulang

*Terjemahan dari: April is the cruellest month dalam The Burial of the Dead milik T.S. Elliot.
 

3 comments:

  1. Makasih, Sa. Tapi kayaknya masih loncat-loncat. :| Tadi sempat kepikiran mau minta tolong kamu buat ilustrasiin. Tapi karena gak yakin sama cerpennya, gak jadi. :))

    ReplyDelete
  2. Cara tuturnya keren nih. Aku suka deh :D

    (Blogwalking On Mine: http://danazumario.tumblr.com)

    ReplyDelete
  3. waaa bagus. sukaa :)

    boleh juga lho berkunjung ke blogku
    http://goo.gl/nvZfF

    ReplyDelete