Gambar oleh Hanz Sinelir |
Saya mengenal Toha Pratama di 2008, sejak kami sama-sama resmi jadi
mahasiswa. Saya lupa sejak kapan kami mulai akrab. Yang jelas, saya ingat bahwa
jadi akrab dengan Toha (begitu kami biasa memanggilnya) adalah perkara mudah. Soalnya,
Toha adalah kawan yang murah hati. Saya berani bertaruh, tidak sedikit kawan-kawan
seangkatan di Fakultas Filsafat UGM yang memilih Toha sebagai tempat mengadu
pun meminta tolong. Pengalaman berinteraksi dengan Toha membuat saya tahu bahwa
Toha jarang sekali menolak memberi bantuan. Suatu ketika saya pernah bertanya
kepada Toha, kenapa ia begitu mudah membantu orang lain. Namun, saya tidak
mendapat jawaban. Saya kemudian memikirkan beberapa kemungkinan. Pertama, Toha
adalah anak tunggal. Tidak memiliki saudara sangat mungkin membuat Toha
memberikan perhatian layaknya saudara kepada kawan-kawannya. Kedua, Toha adalah
seorang yang selo (dan kesepian).
Setahu saya, Toha tidak memiliki kewajiban-kewajiban lain di luar kuliah
(seperti kerja, berorganisasi). Maka, saat kuliah usai, ketimbang pulang ke
rumahnya yang sepi (sebab ibunya yang orangtua tunggal bekerja) dan sendiri di
sana, meladeni ajakan atau permohonan bantuan teman mungkin terasa lebih
menyenangkan. Ketiga, mungkin Tuhan memang menciptakan beberapa manusia dengan
kebaikan hati yang luar biasa. Toha adalah salah satunya. Titik.
Sebagai kawannya, saya pikir sudah jadi semacam keharusan bagi saya untuk
memperhatikan Toha. Maka, tiap bertemu dengannya saya suka bawel bertanya
macam-macam. “Toha, bagaimana rencana skripsi?”, “Toha, bagaimana kabar pacar
orang yang juga pacarmu?”, “Toha, sibuk apa sekarang?”, dan sebagainya dan
sebagainya. Tapi tentu saja sebelum bertanya tentang hal-hal itu, saya akan
lebih dulu mengamati raut wajah Toha dan pakaian yang dipakainya.
Pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan selalu mendapat jawaban yang beragam.
Raut wajah Toha selalu berubah-ubah, sesuai dengan suasana hatinya. Tapi, satu
hal yang nyaris tetap dari Toha adalah pakaian yang dipakainya.
Cara Toha
berpakaian begitu-begitu saja. Celana panjang (seringnya berbahan kain dan
berwarna abu-abu yang sebenarnya celana seragam SMA. Demi Tuhan!). Kaos (jika
bukan kaos putih untuk dalaman laki-laki maka kaos-kaos itu akan ada tulisan
Bank BPD DIY di bagian-bagian tertentu. Sekali lagi, demi Tuhan!). Celana
panjang dan kaos-kaos itu ibarat template
berpakaiannya.
Suatu waktu, seseorang bernama Suluh Pamuji pernah berkata pada saya bahwa
pengetahuan orang akan fashion tidak
bisa dinilai dari mampu tidaknya dia membeli pakaian yang bagus kemudian
memakainya. Saya sepakat dengan Suluh. Menurut saya, Toha tahu fashion. Buktinya, ia bisa memberi
pujian pada kawan-kawannya (seringnya perempuan) yang tampil cantik dengan
gaun-gaun indah. Pun ia mampu menilai sandang yang dikenakan orang (lagi-lagi,
seringnya perempuan) pantas atau tidak, sepadan atau tidak. Pun saya pikir, Toha
sebenarnya tidak punya masalah dengan kemampuan membeli lalu mengenakan pakaian
yang bagus. Toha mampu secara ekonomi (oiya,
saya belum bilang bahwa ia memakai jazz
ke kampus). Toha bisa saja, misalnya, menghabiskan uang yang dipakainya
untuk mentraktir kawan-kawannya demi memborong pakaian yang bagus. Pun sebab ia
sering membeli gadget baru, mestinya
membeli baju baru adalah hal yang mudah untuknya. Tapi ia tidak melakukannya.
Suatu malam, saya dan Hanz Sinelir pernah bertanya soal pakaiannya yang
begitu-begitu saja. Kalau saya tidak salah ingat, dari jawaban Toha kami tahu
bahwa ia tidak ambil pusing dengan perkara sandang.
Hingga akhirnya di 13 Januari 2013, pukul 5:24 pm, Toha berkicau lewat akun
twitternya @TohaPratama. Begini kicauannya: Hanya punya baju gratisan dari bank
:*) Saya pikir kicauannya itu bisa dibaca sebagai kesadaran Toha bahwa cara
berpakaiannya MEMANG begitu-begitu saja. Mumpung 13 Januari belum lama berlalu,
saya pikir tidak ada salahnya untuk merayakan kesadaran Toha tentang cara
berpakaiannya itu dengan membuat “Baju buat Toha”. Masing-masing dari kita (kawan-kawan
Toha) bisa memberikan, mengutip kicauan Hanz (@zsinelir), “Pakaian layak pakai
untuk @TohaPratama”. Tentu saja bukan dengan semangat filantropi (sebab Toha
tidak butuh itu). Semangat yang saya ajukan adalah membalas tiap-tiap kebaikan
Toha kepada kita. Akhirnya, semoga tiap “Baju buat Toha” bisa menunjukkan bahwa
kita peduli padanya.
*Tulisan ini adalah (semacam) pengantar untuk proyek iseng berjudul serupa yang akan diselenggarakan (semoga) dalam waktu dekat ini.
No comments:
Post a Comment