Gambar diambil dari Facebook Neni Muhidin |
Pertama kali membaca buku puisi “Setiap rindu mungkin diciptakan Tuhan dari
seekor ulat bulu yang bermetamorfosa jadi kamu”, saya segera berpikir bahwa
buku ini tak hanya tentang puisi-puisi tapi juga tentang ilustrasi dan tata
letak yang terkonsep (misalnya, puisi Hujan
hadir dengan ilustrasi rintik-rintik hujan sehalaman penuh. Memberi kesan
seakan puisi-puisi di tulis di bawah hujan.) Maka, saya langsung sadar bahwa
saya tidak bisa membaca #KitabRindu, begitu penyairnya menyebut karyanya ini di
akun-akun media sosial miliknya (dan selanjutnya, dalam tulisan ini, saya akan
menyebut karya Neni ini demikian), secara utuh (puisi beserta ilustrasi dan
tata letak) sebab saya sadar bahwa mata saya tak faset. Tulisan ini hanya akan membahas
puisi-puisi di #KitabRindu itu. Tepatnya,
membahas apa-apa dari puisi-puisi itu yang berhasil memikat saya.
/1/
Yang
mula-mula mencuri perhatian ialah ada puisi-puisi yang hadir beserta judul dan
ada yang tidak. Puisi-puisi tanpa judul menurut saya menarik. Mereka berupa
baris-baris yang ditulis dalam satu halaman, yang sulit untuk tidak diartikan
sebagai satu puisi, tapi (sayangnya) tidak utuh. Terpecah-pecah.
Saya
akan menyertai tiga puisi sebagai contoh disertai penjelasan mengapa menurut
saya puisi-puisi itu serupa pecahan.
Pertama:
pada mulanya bukan kata. Tapi suara. Berbisik pelan
ke telinga, “hai, cinta!”
mencintai kalian
aku seperti melalukan perjalanan jauh
ke tempat-tempat yang baru
juga seperti membuka-buka halaman buku
tua dan lusuh
mencintaimu dapat menyebabkan kangen, serangan candu,
imajinasi, gangguan kenangan dan jaim
Kedua:
pipis sama dengan air seni. Seniman bisa juga jadi
pipisman,
kesenian jadi kepipisan, dan pertunjukan seni jadi
pertunjukan
pipis
pesan jangan pipis sembarangan mungkin kurang lebih
jangan pipis sembarangan mungkin kurang lebih
jangan sok nyeni
opsi masuk ke inbox hp saya.
Pilih mana, MU atau ML
?
!
.
pesan masuk
“rip”
kubalas
“tauk, rest in peace”
Dibalas lagi, “bukan”
“terus”
“riot in Palu”
Di kemajuan teknologi, kita senantiasa bias
saat meneguk secangkis the yang harus selalu
diketik ulang
Dan
puisi ketiga:
bumi
belanga kering
waktu minyak goreng dijilat api dan mati sedikit lebih
cepat
dari diskusi
hidup menjadi begitu gampang sekarang. Beli saja
keranjang.
Simpan semua sedihmu di situ, sayang
pintu hatimu telah kau buka. Aku yang telah memiliki
karcis
kau persilahkan masuk memasuki labirinnya yang gelap
Tidak
utuhnya puisi pertama begitu terasa sebab ada perubahan obyek dari predikat
mencintai. Obyek pertama adalah kalian, obyek kedua adalah kamu. Saya bahkan
berpendapat bahwa baris mencintaimu dapat
menyebabkan kangen, serangan candu, imajinasi, ganguan kenangan, dan jaim dapat
menjadi satu puisi sendiri dan, misalnya, diberi judul Peringatan. Sama
halnya dengan mencintai kalian/aku
seperti melalukan perjalanan jauh/ke tempat-tempat yang baru/juga seperti
membuka-buka halaman buku/tua dan lusuh yang bisa berdiri sendiri.
Puisi
kedua jadi tidak utuh sebab secara garis besar ada dua hal berbeda yang
dibicarakan Neni di sana. Yang pertama bisa dibaca sebagai baris-baris sarkas
tentang perilaku berkesenian, yang kedua tentang penggunaan ponsel dan
keisengan-keisengan yang sering mengikutinya. Sedang puisi ketiga sulit untuk
saya baca sebagai puisi yang satu sebab ada Neni bertutur tentang hal-hal yang
berbeda. Ada diskusi, ada keranjang dan sedih yang disarankan untuk disimpan di
sana, dan ada karcis untuk memasuki hati.
Terkait
gejala di atas, saya pikir adalah wajar dalam proses penciptaan sebuah puisi
ada baris-baris yang datang lebih dulu. Baru nanti baris-baris lain datang hingga
terciptalah puisi yang utuh. Tentu saja diperlukan intensitas penyair di sana
untuk (katakanlah) menggali apa-apa yang ada di dalam dan di luar dirinya. Yang
saya sayangkan, Neni tampaknya kurang menikmati proses penciptaan itu. Jadilah
ada banyak baris yang cukup kuat dan bisa dieksplor lebih jauh agar jadi satu
puisi utuh berakhir dalam satu halaman bersama baris lain yang bernasib serupa.
Ibarat proses pembuatan anggur, jika saja Neni “memeram” baris-baris itu lebih lama mereka pasti akan jadi puisi utuh yang memabukkan.
Tapi
bisa saja saya hanya menanggapi gejala di atas dengan berlebihan. Bisa saja Neni
hanya sedang bereksperimen lewat puisi-puisi seperti itu. Bisa saja Neni memang
ingin bermain-main dengan cara menggabungkan baris-baris yang tak berkaitan
dalam satu halaman, dan, voila, bisalah
mereka disebut satu puisi. Apalagi masih
ada nafas yang sama di dalam puisi-puisi macam itu. Misalnya, meski terkesan
ada yang tak nyambung, masih ada
cinta yang jadi pengikat di puisi pertama dan ketiga. Pun, meski berbicara tentang
perilaku berkesenian dan ponsel, puisi kedua bisa dibilang bertutur tentang
pesan.
/2/
Sebab
Neni tinggal di Palu, sebelum membaca buku puisinya saya sudah berharap akan
ada Palu dan Sulawesi Tengah dalam puisi-puisinya. Harapan saya sesuai dengan
kenyataan. Ada Palu dan Sulawesi Tengah dalam puisi-puisi Neni. Meski hanya ada
tiga puisi yang benar-benar menyoal tentang Palu dan Sulawesi Tengah, sedang
sisanya Palu dan Sulawesi Tengah hadir dalam diksi atau baris-baris dalam puisi
bertema lain. Saya simpulkan ada tiga hal tentang Palu dan Sulawesi Tengah yang
bisa dilihat dari puisi-puisi Neni. Pertama, tradisinya. Dalam salah satu puisi
Neni, yang jadi salah satu puisi favorit saya, ada Lalove, seruling bambu, yang
merupakan alat musik tradisional Sulawesi Tengah.
Aku menjejak di kampung itu, Kintalove. Seorang bocah
kampung sedang belajar meniup seruling. Tak disadarinya
elang datang dan mengitari langit kampung, mungkin karena
alunan bunyi seruling itu, Lalove. Aku mengeja pelan nama
kampung itu, mendengar perlahan suara bunyi seruling itu,
mengingatmu lekat di situ. Love!
Juga
ada Mangge dan buluh perindunya di puisi Buluh
Perindu. Mangge adalah bahasa Kaili, artinya paman.
Kedua,
asimilasi budayanya. Adalah bagian berikut ini yang membawa saya pada poin
tersebut: kom kom ci/kom kom ci/kom kom
ci/ada tuhan di popoji. Bagian yang hadir dalam sebuah puisi tanpa judul.
Saya, yang lahir di Palu dan menetap di sana hingga menamatkan SMP, mengenang kom kom ci sebagai nyanyian untuk
menghibur balita. Saya tidak tahu apa arti dari nyanyian itu. Saat menulis
tulisan ini, saya ketik kata kunci kom
kom ci di kotak pencarian google dan
saya jadi tahu bahwa ia adalah nyanyian Manado. Sedang popoji sendiri adalah bahasa Manado untuk saku. Di Palu, dalam kesehariannya, memang banyak sekali orang yang
bertutur dalam bahasa Manado.
Ketiga,
Palu dan Sulawesi Tengah beserta soal-soal sosial, ekonomi, dan politiknya.
Dalam puisi berjudul Kopi, Neni
mewartakan bahwa di Napu kota batu itu,
kopi pernah jadi ekonomi. Masih di puisi yang sama, Neni juga menyinggung
tentang luka Poso yang tak terobati. Baris
yang mengingatkan pembaca pada konflik Poso. Neni juga menyinggung listrik yang
masih jadi soal yang tak kunjung selesai di sana. Saya catat, persoalan listrik
hadir dalam dua puisinya. Pertama hadir dalam baris malam-malam mati lampu dalam sebuah puisi tak berjudul. Kedua hadir
dalam akan dibangun segera energi
pembangkit listrik, di sini/Dari air ludah para petinggi yang suka omong
investasi, good governance, layanan
publik/Ini untuk mengatasi selisih daya listrik yang kurang agar dapat melihat
tai kucing Belanda di waktu malam dalam sebuah puisi tak berjudul lainnya.
Gempa, yang terlanjur sering hadir di Sulawesi Tengah, juga tak dilupakan Neni.
Apalagi, saat penyusunan buku puisi ini terjadi gempa di Lindu, salah satu
daerah di Sulawesi Tengah. Gempa itulah yang mungkin menjadi sebab dari
terciptanya puisi ini:
namamu Lindu
getar itu
rapuh batu
kata-kata jadi kayu
jadi puisi paling sendu
hari itu
*Pembacaan atas buku kumpulan puisi dari Neni Muhidin
No comments:
Post a Comment