Monday 28 January 2013

Puisi-Puisi di #KitabRindu Itu*



Gambar diambil dari Facebook Neni Muhidin


Pertama kali membaca buku puisi “Setiap rindu mungkin diciptakan Tuhan dari seekor ulat bulu yang bermetamorfosa jadi kamu”, saya segera berpikir bahwa buku ini tak hanya tentang puisi-puisi tapi juga tentang ilustrasi dan tata letak yang terkonsep (misalnya, puisi Hujan hadir dengan ilustrasi rintik-rintik hujan sehalaman penuh. Memberi kesan seakan puisi-puisi di tulis di bawah hujan.) Maka, saya langsung sadar bahwa saya tidak bisa membaca #KitabRindu, begitu penyairnya menyebut karyanya ini di akun-akun media sosial miliknya (dan selanjutnya, dalam tulisan ini, saya akan menyebut karya Neni ini demikian), secara utuh (puisi beserta ilustrasi dan tata letak) sebab saya sadar bahwa mata saya tak faset. Tulisan ini hanya akan membahas puisi-puisi di #KitabRindu itu.  Tepatnya, membahas apa-apa dari puisi-puisi itu yang berhasil memikat saya.

/1/

Yang mula-mula mencuri perhatian ialah ada puisi-puisi yang hadir beserta judul dan ada yang tidak. Puisi-puisi tanpa judul menurut saya menarik. Mereka berupa baris-baris yang ditulis dalam satu halaman, yang sulit untuk tidak diartikan sebagai satu puisi, tapi (sayangnya) tidak utuh. Terpecah-pecah. 

Saya akan menyertai tiga puisi sebagai contoh disertai penjelasan mengapa menurut saya puisi-puisi itu serupa pecahan.
Pertama:
pada mulanya bukan kata. Tapi suara. Berbisik pelan
ke telinga, “hai, cinta!”

mencintai kalian
aku seperti melalukan perjalanan jauh
ke tempat-tempat yang baru
juga seperti membuka-buka halaman buku
tua dan lusuh

mencintaimu dapat menyebabkan kangen, serangan candu, imajinasi, gangguan kenangan dan jaim

Kedua:
pipis sama dengan air seni. Seniman bisa juga jadi pipisman,
kesenian jadi kepipisan, dan pertunjukan seni jadi pertunjukan
pipis
pesan jangan pipis sembarangan mungkin kurang lebih
jangan pipis sembarangan mungkin kurang lebih
jangan sok nyeni

opsi masuk ke inbox hp saya.
Pilih mana, MU atau ML
?
!
.

pesan masuk
“rip”
kubalas
“tauk, rest in peace”
Dibalas lagi, “bukan”
“terus”
“riot in Palu”

Di kemajuan teknologi, kita senantiasa bias
saat meneguk secangkis the yang harus selalu
diketik ulang

Dan puisi ketiga:
bumi
belanga kering
waktu minyak goreng dijilat api dan mati sedikit lebih cepat
dari diskusi

hidup menjadi begitu gampang sekarang. Beli saja keranjang.
Simpan semua sedihmu di situ, sayang

pintu hatimu telah kau buka. Aku yang telah memiliki karcis
kau persilahkan masuk memasuki labirinnya yang gelap

Tidak utuhnya puisi pertama begitu terasa sebab ada perubahan obyek dari predikat mencintai. Obyek pertama adalah kalian, obyek kedua adalah kamu. Saya bahkan berpendapat bahwa baris mencintaimu dapat menyebabkan kangen, serangan candu, imajinasi, ganguan kenangan, dan jaim dapat menjadi satu puisi sendiri dan, misalnya, diberi judul Peringatan. Sama halnya dengan mencintai kalian/aku seperti melalukan perjalanan jauh/ke tempat-tempat yang baru/juga seperti membuka-buka halaman buku/tua dan lusuh yang bisa berdiri sendiri. 

Puisi kedua jadi tidak utuh sebab secara garis besar ada dua hal berbeda yang dibicarakan Neni di sana. Yang pertama bisa dibaca sebagai baris-baris sarkas tentang perilaku berkesenian, yang kedua tentang penggunaan ponsel dan keisengan-keisengan yang sering mengikutinya. Sedang puisi ketiga sulit untuk saya baca sebagai puisi yang satu sebab ada Neni bertutur tentang hal-hal yang berbeda. Ada diskusi, ada keranjang dan sedih yang disarankan untuk disimpan di sana, dan ada karcis untuk memasuki hati. 

Terkait gejala di atas, saya pikir adalah wajar dalam proses penciptaan sebuah puisi ada baris-baris yang datang lebih dulu. Baru nanti baris-baris lain datang hingga terciptalah puisi yang utuh. Tentu saja diperlukan intensitas penyair di sana untuk (katakanlah) menggali apa-apa yang ada di dalam dan di luar dirinya. Yang saya sayangkan, Neni tampaknya kurang menikmati proses penciptaan itu. Jadilah ada banyak baris yang cukup kuat dan bisa dieksplor lebih jauh agar jadi satu puisi utuh berakhir dalam satu halaman bersama baris lain yang bernasib serupa. Ibarat proses pembuatan anggur, jika saja Neni “memeram” baris-baris itu lebih lama mereka pasti akan jadi puisi utuh yang memabukkan. 

Tapi bisa saja saya hanya menanggapi gejala di atas dengan berlebihan. Bisa saja Neni hanya sedang bereksperimen lewat puisi-puisi seperti itu. Bisa saja Neni memang ingin bermain-main dengan cara menggabungkan baris-baris yang tak berkaitan dalam satu halaman, dan, voila, bisalah mereka disebut satu puisi.  Apalagi masih ada nafas yang sama di dalam puisi-puisi macam itu. Misalnya, meski terkesan ada yang tak nyambung, masih ada cinta yang jadi pengikat di puisi pertama dan ketiga. Pun, meski berbicara tentang perilaku berkesenian dan ponsel, puisi kedua bisa dibilang bertutur tentang pesan. 


/2/

Sebab Neni tinggal di Palu, sebelum membaca buku puisinya saya sudah berharap akan ada Palu dan Sulawesi Tengah dalam puisi-puisinya. Harapan saya sesuai dengan kenyataan. Ada Palu dan Sulawesi Tengah dalam puisi-puisi Neni. Meski hanya ada tiga puisi yang benar-benar menyoal tentang Palu dan Sulawesi Tengah, sedang sisanya Palu dan Sulawesi Tengah hadir dalam diksi atau baris-baris dalam puisi bertema lain. Saya simpulkan ada tiga hal tentang Palu dan Sulawesi Tengah yang bisa dilihat dari puisi-puisi Neni. Pertama, tradisinya. Dalam salah satu puisi Neni, yang jadi salah satu puisi favorit saya, ada Lalove, seruling bambu, yang merupakan alat musik tradisional Sulawesi Tengah. 
Aku menjejak di kampung itu, Kintalove. Seorang bocah
kampung sedang belajar meniup seruling. Tak disadarinya
elang datang dan mengitari langit kampung, mungkin karena
alunan bunyi seruling itu, Lalove. Aku mengeja pelan nama
kampung itu, mendengar perlahan suara bunyi seruling itu,
mengingatmu lekat di situ. Love!
Juga ada Mangge dan buluh perindunya di puisi Buluh Perindu. Mangge adalah bahasa Kaili, artinya paman.

Kedua, asimilasi budayanya. Adalah bagian berikut ini yang membawa saya pada poin tersebut: kom kom ci/kom kom ci/kom kom ci/ada tuhan di popoji. Bagian yang hadir dalam sebuah puisi tanpa judul. Saya, yang lahir di Palu dan menetap di sana hingga menamatkan SMP, mengenang kom kom ci sebagai nyanyian untuk menghibur balita. Saya tidak tahu apa arti dari nyanyian itu. Saat menulis tulisan ini, saya ketik kata kunci kom kom ci di kotak pencarian google dan saya jadi tahu bahwa ia adalah nyanyian Manado. Sedang popoji sendiri adalah bahasa Manado untuk saku. Di Palu, dalam kesehariannya, memang banyak sekali orang yang bertutur dalam bahasa Manado. 

Ketiga, Palu dan Sulawesi Tengah beserta soal-soal sosial, ekonomi, dan politiknya. Dalam puisi berjudul Kopi, Neni mewartakan bahwa di Napu kota batu itu, kopi pernah jadi ekonomi. Masih di puisi yang sama, Neni juga menyinggung tentang luka Poso yang tak terobati. Baris yang mengingatkan pembaca pada konflik Poso. Neni juga menyinggung listrik yang masih jadi soal yang tak kunjung selesai di sana. Saya catat, persoalan listrik hadir dalam dua puisinya. Pertama hadir dalam baris malam-malam mati lampu dalam sebuah puisi tak berjudul. Kedua hadir dalam akan dibangun segera energi pembangkit listrik, di sini/Dari air ludah para petinggi yang suka omong investasi, good governance, layanan publik/Ini untuk mengatasi selisih daya listrik yang kurang agar dapat melihat tai kucing Belanda di waktu malam dalam sebuah puisi tak berjudul lainnya. Gempa, yang terlanjur sering hadir di Sulawesi Tengah, juga tak dilupakan Neni. Apalagi, saat penyusunan buku puisi ini terjadi gempa di Lindu, salah satu daerah di Sulawesi Tengah. Gempa itulah yang mungkin menjadi sebab dari terciptanya puisi ini:
namamu Lindu
getar itu
rapuh batu
kata-kata jadi kayu
jadi puisi paling sendu
hari itu
 


 *Pembacaan atas buku kumpulan puisi dari Neni Muhidin

No comments:

Post a Comment