Tanya tak bisa tidur. Padahal sudah hampir jam 10
dan besok mama pasti akan membangunkannya pagi-pagi benar untuk bersiap ke
sekolah. Biasanya, tak bisa tidur adalah tanda kalau anak perempuan itu lupa
melakukan sesuatu. Makanya, sambil berbaring di tempat tidur, Tanya bertanya
pada dirinya sendiri.
“Aku lupa melakukan apa sih? PR, sudah. Nata
buku, sudah. Nyiapin seragam, sudah. Cuci kaki dan gosok gigi, sudah. Apa yah?”
Tanya lalu berusaha mengingat-ingat apa yang lupa ia kerjakan.
“Gak ada kok yang lupa aku kerjakan. Berdoa juga
sudah. Apa harus ngitung domba?” Ia teringat pada buku cerita pemberian papa
tentang seorang anak yang menghitung domba supaya bisa tidur. Mulailah Tanya
menghitung domba di kepalanya. Sampai di domba ke tiga puluh dua, ia menyerah.
“Tidak ngantuk juga. Apa Malam ingin ngobrol
denganku?” Tanya hening sejenak. Akhirnya, ia yakin kalau Malam memang ingin
ngobrol dengannya. Tanya turun dari tempat tidur. Berjalan ke arah jendela. Ia
menyibakkan gorden kemudian membuka jendela kamar. Setelah itu, ia duduk di
kursi belajar. Dari kursi belajar itu, Malam di langit terlihat jelas. Malam sedikit
mendung.
“Halo, Malam? Kau sengaja bikin aku tak bisa
tidur yah?” tanyanya kepada Malam.
“Halo, Tanya. Iya, maaf. Aku sengaja membuatmu
tak bisa tidur. Aku butuh teman ngobrol.”
“Kenapa harus aku sih, Malam? Kenapa tidak anak-anak
lain saja yang kau ajak ngobrol?”
“Karena aku suka namamu, Tanya. Dari namamu, kau
pastilah anak yang selalu ingin tahu. Aku suka anak yang selalu ingin tahu. Ia
pasti mendapat banyak pengetahuan.”
“Mestinya masih ada anak-anak lain yang namanya Tanya
kan, Malam? Kenapa aku?”
“Hehe. Apa aku bilang! Rasa ingin tahumu besar.
Kau suka bertanya. Cocok dengan namamu. Iya, benar. Pasti ada Tanya-Tanya yang
lain. Tapi, malam ini aku memilihmu. Aku ingin Tanya yang kamu, bukan Tanya
yang lain. Besok, mungkin, aku akan memilih yang lain.”
“Baiklah, Malam. Um, apa sih yang ingin kau
obrolkan?” Tanya penasaran.
“Aku mulai dengan sebuah pertanyaan ya, Tanya?
Kamu lebih suka aku atau Siang?” Malam balik bertanya.
“Sama saja, Malam. Kenapa memangnya?”
“Tidak, Tanya. Kau harus memilih. Lebih suka aku
atau Siang?”
“Sebentar. Kupikir dulu, ya.” Tanya diam sejenak.
Berpikir. “Begini, Malam. Ada yang aku suka darimu dan ada yang tidak. Ada juga
yang aku suka dari Siang dan ada yang tidak. Nah, kalau kuhitung-hitung, kalian
imbang.”
“Oh yah? Kalau begitu, tidurlah, Tanya. Aku akan
bertanya ke anak yang lain. Yang tidak menganggap aku seimbang dengan Siang,”
kata Malam. Mendung makin tampak di wajahnya. Bulan jadi tak kelihatan, hanya
sedikit bintang yang bersinar.
“Curang! Kau sudah membuatku tak bisa tidur. Eh, sekarang
malah mau ngobrol dengan anak yang lain. Ayo cerita saja, Malam. Ada apa sih?”
Tanya protes.
“Begini, Tanya. Aku suka dengan Matahari. Memang
sih, aku hanya melihatnya dari kejauhan. Saat aku hampir sampai, ia sedang bersiap-siap
pergi. Tapi, aku suka dengannya, Tanya. Aku kagum sebab ia sumber energi utama
bagi kehidupan di Bumi. Masalahnya, Matahari selalu bersama Siang.”
“Memang, Matahari selalu bersama Siang. Mereka
ditakdirkan begitu kan, Malam? Tapi, lihat deh, Bintang-Bintang mengagumi. Bulan
sahabatmu. Kadang, Awan-Awan juga menemanimu. Kupikir itu sudah cukup?”
“Hum, iya, selama ini aku sudah cukup senang dengan
keadaanku, Tanya. Aku juga yakin, aku akan suka dengan satu Bintang suatu hari
nanti dan ia akan jadi Bintang yang terus bersamaku. Tapi, tadi ada satu
Bintang Jatuh. Saat jatuh meninggalkanku, ia sempat berteriak, ‘Aku tahu kamu suka
pada Matahari, Malam. Sadar dong! Ia tak mungkin suka padamu. Dibanding siang
yang putih bersinar, kamu gak ada apa-apanya. Kamu hitam. Jelek.’ Kata-katanya
tentang aku yang hitam jelek membuatku sedih, Tanya.” Airmata mulai turun dari
mata Malam.
“Ih, jangan menangis, Malam! Tuh, airmatamu jadi
hujan! Kasihan anak-anak yang tidur tanpa rumah. Nanti mereka sakit.” Mendengar
apa yang dikatakan Tanya, Malam mengusap airmatanya. “Ah, itu Bintang Jatuh-nya
aneh. Pasti dia berkata seperti itu karena rasa kagumnya padamu tak kau gubris.
Semoga tak ada manusia yang menitipkan harapan pada Bintang Jatuh yang jahat
itu! Sudah, tak usah dengarkan dia, Malam.” Tanya coba menghibur Malam. Tapi
mendung belum pergi dari wajah Malam. “Malam, iya, benar, kamu hitam. Gelap. Tapi
selain si Bintang Jatuh itu, siapa yang pernah bilang kamu jelek? Gak ada kan?
Nah, itu berarti kamu tidak jelek, Malam! Aku suka denganmu. Menurutku, kamu
cantik.”
“Berarti, meski aku hitam, aku tidak jelek,
Tanya?”
“Hei, hei, salah. Ngomongnya jangan ‘Meski aku
hitam, aku tidak jelek.’ Begini loh, ‘Aku hitam dan aku tidak jelek’. Kata
siapa hitam itu jelek!?”
Mendengar apa yang dikatakan Tanya, Malam
tersenyum.
“Nah, gitu dong! Senyum. Jangan sedih lagi.
Lagian, kalau kamu putih, terang, bersinar, kamu bukan Malam lagi loh. Mau kamu
gak jadi dirimu sendiri?”
“Gak, Tanya. Aku gak mau. Aku suka jadi Malam.
Soalnya, dengan jadi Malam, aku bisa melihat banyak orang tidur. Senang rasanya
melihat orang-orang tidur, apalagi yang nyenyak. Damai. Sekarang, tidurlah,
Tanya. Biar bertambah satu wajah damai yang kulihat.”
“Iya. Aku tidur dulu yah, Malam. Jangan sedih
gara-gara masalah itu lagi yah?”
“Iya. Makasi yah, Tanya.”
“Sip. Sama-sama, Malam.” Tanya mengacungkan jempolnya
ke Malam. Ia beranjak menutup jendela kamar juga gorden. Segera ia naik ke
tempat tidur. Sebelum jatuh tertidur, Tanya sempat tersenyum mengingat besok
dan seterusnya ia masih akan berjumpa dengan Malam. Ya, malam yang hitam,
kelam, dan cantik.
No comments:
Post a Comment