“Tidak ada
masalah dengan kepala yang ditutup, seperti juga tidak masalah dengan kepala
yang tak ditutup. Yang jadi masalah kalau pikiran yang ditutup.”
Beberapa bulan lalu saya menulis pernyataan di atas
di akun-akun media sosial saya, facebook dan
twitter. Pernyataan itu saya
maksudkan sebagai pengiring atas keputusan saya mengenakan jilbab kala itu.
Iya, kala itu. Sebab sekarang saya memutuskan untuk tidak lagi memakainya.
Seorang kawan pernah mengatakan, “Kamu ini lama gak kelihatan, tiba-tiba pakai jilbab. Lalu menghilang, tiba-tiba gak pakai jilbab lagi.” Saya hanya
merespon pernyataannya dengan senyum. Senyum yang sudah saya berikan kepada
orang-orang yang bertanya sebelum dia. Senyum yang mungkin akan saya berikan
kepada orang-orang yang akan bertanya kemudian. Penjelasan akan pilihan
berpakaian saya, yang saya sadari lekat dengan identitas seorang muslimah, bisa jadi
sangat panjang. Saya tidak ingin orang-orang terbuang waktunya hanya untuk
mendengarkan penjelasan saya tentang pilihan-pilihan yang telah diambil itu. Tapi,
saya kemudian berpikir, tidak ada salahnya saya menyatakan alasan di balik
pilihan-pilihan itu serta kegundahan yang mengikuti pilihan-pilihan itu lewat
sebuah tulisan. Tulisan ini.
Pilihan berjilbab itu berawal dari mama. Yang kemudian
didukung oleh seorang laki-laki. Suatu ketika mama mengirimkan pesan pendek
kepada saya, “Fira, Ninda sudah berjilbab. Nining juga sudah mulai-mulai belajar
pakai jilbab, nak. Fira juga pakai jilbablah.” Ninda dan Nining adalah dua
sepupu sepantaran saya. Keduanya tinggal di Palu, saya di Yogya. Ketika itu, saya berpikir, tidak ada salahnya saya berjilbab. Toh berjilbab hanya perkara mengenakan baju-baju lengan panjang dan
menutup rambutmu (khususnya) saat bepergian. Bukan perkara yang sulit. Saya
lalu mulai belajar mengenakan jilbab tiap bepergian. Sambil berusaha mengendalikan
diri saya untuk tidak melakukan hal-hal yang (kata orang) tidak sepatutnya dilakukan
oleh gadis berjilbab.
Ketika saya memasang gambar tampilan BlackBerry Messenger dengan foto mengenakan jilbab, seorang
laki-laki memulai percakapan dengan saya. “Kamu cantik pakai jilbab,”
tulisnya. Tak lupa ia menambahkan simbol tersenyum di sana. Dia lalu mulai
mengatakan tentang perempuan Islam yang baik memang seharusnya berjilbab dan
sebagainya dan sebagainya. Singkat cerita, saya (kala itu) mantap memilih
berjilbab.
Sejak saya berjilbab, mama sering mengirim pesan pendek
menyuruh saya mengirimkan foto saya yang mengenakan jilbab. Belakangan saya
ketahui bahwa mama suka memamerkan foto saya yang berjilbab kepada
saudara-saudaranya di Palu. Pun kepada sepupu-sepupu saya. Sejak itu, mereka memberi
komentar. Semuanya bernada positif. Bulan-bulan awal mengenakan jilbab terasa
mudah. Tapi kemudian, saya jadi goyah dengan pilihan itu.
Adalah fakta bahwa kemudian saya berpacaran dengan
laki-laki yang mendukung saya menggunakan jilbab yang jadi titik tolak
saya untuk berpikir kembali tentang pilihan berjilbab. Menjadi pacarnya membuat
saya tahu perangai-perangai dia lebih jauh. Misalnya, saya jadi tahu bahwa
ia yang sempat mengatakan perempuan memang seharusnya berjilbab malah sering
sekali luput jumatan. Saya jadi tahu bahwa ia yang sempat mengatakan bahwa
perempuan harusnya begini begitu (misalnya, tidak boleh pulang larut malam,
tidak boleh sering-sering nongkrong dengan
laki-laki), ternyata kalau marah suka sekali memaki. Jujur saja,
pernyataan-pernyataannya sempat jadi sesuatu yang memperkuat pilihan saya
berjilbab. Mengetahui bahwa ia seperti itu membuat saya berpikir ulang, “Apakah
ia dengan mendukung saya memakai jilbab beserta segala petuahnya itu dan saya
dengan memakai jilbab sebenarnya hanya ingin tampak baik?” Ia, kenyataannya,
tidak seindah petuahnya tentang jilbab. Dan memakai jilbab tidak membuat saya
baik. Membuat saya jadi lebih bisa mawas diri, mungkin. Tapi baik? Aih, saya
pikir tidak juga.
Kemudian saya berpikir tentang mama. Sebab mamalah titik
berangkat dari keputusan saya. Melihat gejala yang ada (mama suka memamerkan
foto saya yang berjilbab, pujian yang hadir dari keluarga), saya pikir, pilihan
saya berjilbab memberi dampak bagi mama dalam keluarga besar kami. Apalagi sebab kedua sepupu sepantaran saya sudah lebih dulu belajar memakai jilbab. Ketika saya
memakai jilbab, mama, dengan menunjukan foto saya yang berjilbab, secara tidak
langsung (mungkin) berkata, “Anakku juga sudah pakai jilbab loh.” Saya ingin membahagiakan mama.
Ingin sekali. Tapi, saya pikir pastilah ada cara lain untuk membahagiakannya
selain dengan bisa membuat mama pamer tentang anak gadisnya sudah
berjilbab seperti keponakan-keponakannya. Saya pikir jilbab (dan ide tentang kesalehan
yang melekat padanya) tidak untuk dipamerkan.
Maka, saya kenakan lagi gaun-gaun saya yang manis. Saya
perlihatkan lagi rambut saya yang panjang, ikal, dan berantakan. Di masa awal,
saya melakukannya sambil mengulang-ngulang pernyataan Ahmad Wahib:
Jadi sekali lagi
perlu diingat bahwa mungkin saja pakaian seorang wanita Islam yang sholeh sama
“moderen”nya dengan pakaian seorang wanita yang menerima ide-ide sekularisasi.
Yang berbeda adalah titik tolak hati masing-masing, yaitu bahwa yang satu
dalam menentukan pakaiannya tidak kehilangan referensinya terhadap ajaran
agama, sedang yang lain sudah melepaskan hubungan dengan ajaran agama. Yang
satu merasa bahwa Tuhan “merestui” pakaiannya, sedang yang lain sudah tidak
lagi mempersoalkan ada tidaknya restu Tuhan.
No comments:
Post a Comment