Tuesday 15 January 2013

Kepala yang (Tak Lagi) Ditutupi





“Tidak ada masalah dengan kepala yang ditutup, seperti juga tidak masalah dengan kepala yang tak ditutup. Yang jadi masalah kalau pikiran yang ditutup.”



Beberapa bulan lalu saya menulis pernyataan di atas di akun-akun media sosial saya, facebook dan twitter. Pernyataan itu saya maksudkan sebagai pengiring atas keputusan saya mengenakan jilbab kala itu. Iya, kala itu. Sebab sekarang saya memutuskan untuk tidak lagi memakainya. Seorang kawan pernah mengatakan, “Kamu ini lama gak kelihatan, tiba-tiba pakai jilbab. Lalu menghilang, tiba-tiba gak pakai jilbab lagi.” Saya hanya merespon pernyataannya dengan senyum. Senyum yang sudah saya berikan kepada orang-orang yang bertanya sebelum dia. Senyum yang mungkin akan saya berikan kepada orang-orang yang akan bertanya kemudian. Penjelasan akan pilihan berpakaian saya, yang saya sadari lekat dengan identitas seorang muslimah, bisa jadi sangat panjang. Saya tidak ingin orang-orang terbuang waktunya hanya untuk mendengarkan penjelasan saya tentang pilihan-pilihan yang telah diambil itu. Tapi, saya kemudian berpikir, tidak ada salahnya saya menyatakan alasan di balik pilihan-pilihan itu serta kegundahan yang mengikuti pilihan-pilihan itu lewat sebuah tulisan. Tulisan ini. 

Pilihan berjilbab itu berawal dari mama. Yang kemudian didukung oleh seorang laki-laki. Suatu ketika mama mengirimkan pesan pendek kepada saya, “Fira, Ninda sudah berjilbab. Nining juga sudah mulai-mulai belajar pakai jilbab, nak. Fira juga pakai jilbablah.” Ninda dan Nining adalah dua sepupu sepantaran saya. Keduanya tinggal di Palu, saya di Yogya. Ketika itu, saya berpikir, tidak ada salahnya saya berjilbab. Toh berjilbab hanya perkara mengenakan baju-baju lengan panjang dan menutup rambutmu (khususnya) saat bepergian. Bukan perkara yang sulit. Saya lalu mulai belajar mengenakan jilbab tiap bepergian. Sambil berusaha mengendalikan diri saya untuk tidak melakukan hal-hal yang (kata orang) tidak sepatutnya dilakukan oleh gadis berjilbab.
Ketika saya memasang gambar tampilan BlackBerry Messenger dengan foto mengenakan jilbab, seorang laki-laki memulai percakapan dengan saya. “Kamu cantik pakai jilbab,” tulisnya. Tak lupa ia menambahkan simbol tersenyum di sana. Dia lalu mulai mengatakan tentang perempuan Islam yang baik memang seharusnya berjilbab dan sebagainya dan sebagainya. Singkat cerita, saya (kala itu) mantap memilih berjilbab. 

Sejak saya berjilbab, mama sering mengirim pesan pendek menyuruh saya mengirimkan foto saya yang mengenakan jilbab. Belakangan saya ketahui bahwa mama suka memamerkan foto saya yang berjilbab kepada saudara-saudaranya di Palu. Pun kepada sepupu-sepupu saya. Sejak itu, mereka memberi komentar. Semuanya bernada positif. Bulan-bulan awal mengenakan jilbab terasa mudah. Tapi kemudian, saya jadi goyah dengan pilihan itu. 

Adalah fakta bahwa kemudian saya berpacaran dengan laki-laki yang mendukung saya menggunakan jilbab yang jadi titik tolak saya untuk berpikir kembali tentang pilihan berjilbab. Menjadi pacarnya membuat saya tahu perangai-perangai dia lebih jauh. Misalnya, saya jadi tahu bahwa ia yang sempat mengatakan perempuan memang seharusnya berjilbab malah sering sekali luput jumatan. Saya jadi tahu bahwa ia yang sempat mengatakan bahwa perempuan harusnya begini begitu (misalnya, tidak boleh pulang larut malam, tidak boleh sering-sering nongkrong dengan laki-laki), ternyata kalau marah suka sekali memaki. Jujur saja, pernyataan-pernyataannya sempat jadi sesuatu yang memperkuat pilihan saya berjilbab. Mengetahui bahwa ia seperti itu membuat saya berpikir ulang, “Apakah ia dengan mendukung saya memakai jilbab beserta segala petuahnya itu dan saya dengan memakai jilbab sebenarnya hanya ingin tampak baik?” Ia, kenyataannya, tidak seindah petuahnya tentang jilbab. Dan memakai jilbab tidak membuat saya baik. Membuat saya jadi lebih bisa mawas diri, mungkin. Tapi baik? Aih, saya pikir tidak juga.

Kemudian saya berpikir tentang mama. Sebab mamalah titik berangkat dari keputusan saya. Melihat gejala yang ada (mama suka memamerkan foto saya yang berjilbab, pujian yang hadir dari keluarga), saya pikir, pilihan saya berjilbab memberi dampak bagi mama dalam keluarga besar kami. Apalagi sebab kedua sepupu sepantaran saya sudah lebih dulu belajar memakai jilbab. Ketika saya memakai jilbab, mama, dengan menunjukan foto saya yang berjilbab, secara tidak langsung (mungkin) berkata, “Anakku juga sudah pakai jilbab loh.” Saya ingin membahagiakan mama. Ingin sekali. Tapi, saya pikir pastilah ada cara lain untuk membahagiakannya selain dengan bisa membuat mama pamer tentang anak gadisnya sudah berjilbab seperti keponakan-keponakannya. Saya pikir jilbab (dan ide tentang kesalehan yang melekat padanya) tidak untuk dipamerkan. 

Pelan-pelan, saya lepas jilbab saya. Si laki-laki bertanya kenapa dengan nada sedikit marah. Saya jawab saja, “Dukungan kamu memang mempengaruhi keputusan saya berjilbab. Tapi, pakai jilbab itu keputusanku. Kalau sekarang saya lepas, itu juga urusanku.” Kala itu, saya menyampaikan dengan nada tegas. Seingat saya ia jadi tidak banyak berkomentar. Meski sesudahnya ia suka menyindir saya. Saya hanya tersenyum sambil menjawab sindiran-sindiran itu di dalam hati, “Macam kau sudah benar saja!” Ketika saya pulang ke Palu di liburan kemarin, mama bertanya kepada saya tentang kepala yang tak lagi ditutupi jilbab ini. Saya jawab saja, “Fira belum siap ternyata, ma.” Sebab, memang, memikirkan kembali alasan saya berjilbab, saya hanya sampai pada kesimpulan bahwa alasan itu rapuh. Dan saya tidak bisa terus berjalan dengan jilbab saya bersama yang rapuh itu. 



Maka, saya kenakan lagi gaun-gaun saya yang manis. Saya perlihatkan lagi rambut saya yang panjang, ikal, dan berantakan. Di masa awal, saya melakukannya sambil mengulang-ngulang pernyataan Ahmad Wahib:
Jadi sekali lagi perlu diingat bahwa mungkin saja pakaian seorang wanita Islam yang sholeh sama “moderen”nya dengan pakaian seorang wanita yang menerima ide-ide sekularisasi. Yang berbeda adalah titik tolak hati masing-masing, yaitu bah­wa yang satu dalam menentukan pakaiannya tidak kehilangan referensinya terhadap ajaran agama, sedang yang lain sudah melepaskan hubungan dengan ajaran agama. Yang satu merasa bahwa Tuhan “merestui” pakaiannya, sedang yang lain sudah tidak lagi mempersoalkan ada tidaknya restu Tuhan.

No comments:

Post a Comment