Saturday 28 December 2013

Yang Tidak Terdengar dari Karya Agus Suwage



Saya mulai tulisan ini dengan pengakuan bahwa karya Agus Suwage adalah salah dua dari beberapa karya di Biennale Jogja XII yang meninggalkan jejak di pikiran saya. Itulah kenapa saya pilih menulis tentang karya Agus Suwage. Dua karya Agus Suwage yang dibahas dalam tulisan ini berjudul Tembok Toleransi (2012) dan Social Mirrors #3 (2013). Tembok Toleransi dipamerkan di lantai 1 Jogja National Museum (JNM), sedang Social Mirrors #3 dipamerkan di SaRang Building.  

 ***
 
Tembok Toleransi berupa tembok yang terbuat dari seng. Tembok itu disorot dengan cahaya LED. Di tembok tertempel 9 telinga yang terbuat dari kuningan berlapis emas. Dari telinga-telinga itu terdengar lafal azan. Secara visual, Tembok Toleransi tampak sederhana. Apalagi saat pertama kali melihatnya perhatian saya terlebih dahulu dicuri oleh karya Handiwirman Saputra yang megah dan berada tepat di sebelah Tembok Toleransi. Sebab saya punya ketertarikan pada hal-hal yang tidak terlalu mencolok, saya justru tertarik mendekatkan diri ke tembok itu. Saya dekatkan telinga saya ke beberapa telinga Tembok Toleransi yang bisa dijangkau oleh tubuh saya. Perasaan senang kepada Tembok Toleransi hadir dalam diri saya. Perasaan senang yang hadir kala itu sama seperti perasaan yang hadir kala menyukai seseorang di interaksi pertama dengannya. Tak terjelaskan. 



Social Mirrors #3 adalah patung kecil menyerupai seorang muazin yang sedang berdiri melafalkan azan. Patung itu berada di hadapan terompet. Dari corong terompet terdengar azan yang dilantunkan dalam tiupan terompet. Saya melihat Social Mirrors #3 saat plesir ke SaRang Building di Sabtu yang cerah. Alunan azan yang keluar dari terompet itu indah. Padu dengan suasana SaRang Building yang asri. 

Dalam wawancaranya dengan Dwi Rachmanto dari Indonesian Visual Art Archive (IVAA)*, Agus Suwage mengatakan karyanya berangkat dari suara azan. Suara azan itu terdengar dari masjid-masjid di sekitar rumahnya. Menurut Suwage, azan yang keluar lewat pengeras suara itu mengganggu sebab kualitas siarnya (baik muazin dan pengeras suara masjid) tidak baik. “Kalau bagus, gak masalah. Ini jor-joran,” ujarnya. Dalam penjelasan tentang karya Agus Suwage, Biennale Jogja XII menulis bahwa karya Agus Suwage menunjukkan krisis multikultural yang ada di Indonesia saat ini. Masih dalam wawancaranya dengan Dwi Rachmanto, Agus Suwage berkata bahwa Social Mirrors #3 adalah alternatif azan yang ditawarkannya. Menurut Suwage, azan bisa dilantunkan dengan lebih merdu, misalnya, dengan tiupan terompet.

Apa yang diangkat oleh Agus Suwage sebenarnya merupakan hal yang dikeluhkan oleh banyak orang. Paling tidak, sejak aktif menggunakan twitter di 2012, saya sering membaca kicauan bernada keluhan tentang azan yang disiarkan lewat pengeras suara masjid. Satu kicauan yang paling saya ingat (kira-kira) berbunyi begini: “Jika percaya Tuhan itu dekat, kenapa harus memanggilnya lewat pengeras suara?”

***

Dengan alasan yang serupa dengan Agus Suwage, saya sepakat bahwa azan yang dilantunkan lewat pengeras suara masjid itu mengganggu. Pun saya kagum dengan “solusi” yang ditawarkan Suwage lewat Social Mirrors #3. Namun, saya kira “ada hal yang tidak terdengar” dari karya Agus Suwage. Apa yang tidak terdengar dari karya Agus Suwage itu sama dengan apa yang luput dari perhatian kita saat mengeluh soal azan dari pengeras suara masjid. Yang saya maksud adalah suara-suara selain azan yang juga keluar dari pengeras suara masjid.

Melulu mengeluh soal azan yang (menurut kita) mengganggu sepertinya membuat kita lupa pada suara-suara lain yang juga sampai di telinga kita lewat pengeras suara masjid. Saya bisa mendaftar dua suara lain yang pernah saya dengar. Pertama, berita duka (di Jogja kita mengenalnya dengan istilah lelayu). Kedua, pemberitahuan tentang kerja bakti, acara desa, dan lain sebagainya (di kultur Jawa kita mengenalnya dengan istilah woro-woro).

Suara-suara lain itu, bagi saya, penting dalam mempererat hubungan sosial orang-orang yang hidup berdekatan dengan masjid-masjid itu. Lelayu, misalnya, walau pengeras suara masjid hanya memberitakan kematian warga yang beragama Islam, bukankah urusan melayat selalu tak pandang agama? Dalam hal woro-woro, bagi saya, pengeras suara masjid malah keren sekali. Ia memberi informasi kepada semua warga, bukan hanya yang Islam. Terlebih lagi, ia bisa membuat orang-orang yang berbeda agama berkumpul mengerjakan/merayakan sesuatu bersama-sama. Isu krisis multikultural rasa-rasanya tidak lagi relevan jika dihadapkan dengan hal di atas. Sebagai informasi tambahan, suara-suara lain macam itu tidak hanya terdengar dari pengeras suara masjid di Jawa. Saya yang berasal dari Palu (Sulawesi Tengah) juga pernah mendengar suara-suara serupa di sana. Maka, menurut saya, pengeras suara masjid tak bisa sekedar dipahami sebagai entitas agama (baca: Islam). Sebab kenyataannya, masyarakat berhasil membawanya (dan mempertahannya hingga sekarang) sebagai entitas sosio-kultural.

Sampai di sini, saya kira, karya Agus Suwage juga keluhan-keluhan kita tentang azan dan pengeras suara masjid luput melihat fungsi lain pengeras suara masjid. Saat melihat karya Agus Suwage untuk kedua kalinya, saya membayangkan dari 9 telinga dan terompet itu bukan hanya keluar lantunan azan tapi juga kabar tentang kematian, ajakan kerja bakti, undangan acara kampung, sampai informasi pemadaman listrik bergilir.*



*Wawancara tersebut bisa disaksikan dalam bentuk video yang diputar di galeri Taman Budaya Yogyakarta. 
** Gambar-gambar diambil dari www.biennalejogja.org


3 comments:

  1. halo, saya dari yudhabaskoro.blogspot.com, izin follow blognya ya.. tapi kok gak ada tombol follownya ya? :O

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo halo. Makasih sudah berkunjung. Waduh, aku juga gak tahu tombol follownya di mana coba. Hehehe. Gak follow juga gak papa. Main aja ke blog ini kalau lagi selo. :)

      Delete