Bermula dari
makan siang di kantin kampus. Beberapa orang yang semeja dengan saya
membicarakan Pemilu. Lalu, seingat saya, tiga dari mereka mengatakan mereka akan
mendukung Prabowo. Satu lagi masih ragu akan memilih siapa. Saya mendengar sambil
terus mengunyah makanan. Saya mengenal orang-orang itu, meski tidak pernah
mengenal baik. Saya tidak ingin masuk dalam pembicaraan mereka. Saya terus
mengunyah. Makin lama argumen-argumen mereka bikin saya sesak. Tapi, tetap,
saya tidak ingin bergabung dalam perbincangan itu. Saya bukan orang yang cakap
berbincang dengan orang-orang yang tidak
kenal dekat dengan saya. Pun ketika mendengar argumen mereka, saya tahu, diam
dan menyimak adalah tindakan yang jauh lebih baik. Tapi, saya sesak. Itulah
mengapa saya lalu memilih mengadu ke grup whatsapp yang berisi teman-teman dekat
saya. Saya sekedar ingin mengadu. Sekali lagi, saya sesak.
Maka, saya
kirim pesan: Demi apa aku semeja sama
pendukung Prabowo di kantin... Lalu
salah seorang kawan baik saya merespon: Emang
kenapa to Sit nek dukung Prabowo? (Emang kenapa Sit kalau dukung Prabowo?). Saya makin sesak. Seingat saya, 2013 dulu
saya pernah terlibat pembicaraan dengannya tentang kemungkinan Prabowo jadi
presiden. Saat itu, Yogya sedang panas karena kasus penembakan narapidana di
dalam penjara Cebongan oleh Kopassus. Seingat saya, dia memang ragu dengan
ketakutan saya tentang pelanggaran HAM akan makin marak terjadi jika Prabowo jadi
presiden.
Saya paham, keraguan itu penting. Di saat-saat tertentu, ragu
bisa jadi lebih baik daripada yakin. Meski menyebut beberapa kejadian
seperti penculikan aktivis 98 sebagai alasan saya tidak mau jika Prabowo jadi
presiden, waktu itu saya bisa menerima keraguannya.
Kemarin
siang lain. “Emang kenapa to Sit kalau dukung Prabowo?” (dan mungkin “Emang kenapa to Sit kalau Prabowo jadi presiden?”)
Tangan saya sampai gemetar ketika mengetik pesan untuk meresponnya: Kalau alasan paling nyata buat aku untuk
tidak mendukung dia karena aku punya Timeh yang adalah Ahmadiyah. Dan Prabowo
sudah bilang mau tertibin Ahmadiyah. Masih dengan tangan bergetar saya
lanjut mengetik: Kedua, karena aku punya
Ulfa yang adalah wartawan dan pernah dibentak Prabowo karena dia kewanen
(nekad: red) tanya soal pengadilan HAM waktu wawancara Prabowo. Dibentak ditanyain, “kamu dari mana? Siapa yang nyuruh kamu nanya itu?”